Belajar berjalan itu membutuhkan tenaga super. Untungnya Seulgi gadis yang cukup tangguh, dalam tiga minggu terakhir, kaki kanannya benar-benar menunjukkan kemajuan yang sangat pesat dibandingkan pertama kali ia menginjakkan kaki di London.
Terapisnya menyarankan untuk melemaskan otot kaki dengan berenang. Didampingi tentu saja, bagaimanapun Gadis Kang itu masih dalam pengawasan dokter.
"Kapan London benar-benar musim panas ya?"
Pertanyaan Soojung membuat konsentrasi Seulgi sempat teralihkan. Masih berdiri dengan kruk di kedua ketiak untuk mengapitnya, ia menengadah menatap langit musim semi. Sejuk memang, meskipun sudah muncul tanda-tanda suhu yang meningkat.
"Nanti juga datang. Jangan protes kalau terlalu panas, Jungie."
"Tapi aku suka musim panas. Minghyuk oppa dan aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam berjemur di bawah pohon rindang, menggelar tikar dan menikmatinya dengan jus dingin. Aku sudah bersiap membeli buku untuk kita baca nanti."
"Ah," Seulgi mengangguk-angguk. Sepertinya sahabatnya itu menyukai apa yang disukai warga lokal. Musim panas memang digunakan sebaik-baiknya warga untuk mendapatkan hangatnya sinar matahari.
Mungkin karena pantai tidak bergitu menarik di sini, padahal di Korea sana, musim panas selalu dirayakan pemuda-pemudi di sekitaran pantai atau berlibur ke pulau-pulau kecil. Mungkin budaya yang membuatnya berbeda.
"Aku senang melihat kemajuanmu, tidak sabar rasanya membawa tubuh kurus ini berjemur. Sinar matahari pagi bagus untuk tulangmu, Seul."
Bungsu Kang mengangguk sembari tersenyum. Melangkah lagi disaksikan calon kakak iparnya, Seulgi mulai percaya diri menapakkan semakin dalam kakinya pada pelataran yang diinjaknya saat ini.
"Jungie."
"Iya?"
"Seperti apa rasanya dilamar?"
Jung Soojung yang kini berambut cepak sebahu menatap heran adik kekasihnya. "Melebihi rasa senang, memang kenapa?"
"Tidak apa-apa, aku hanya bertanya." Lagi-lagi Seulgi hanya tersenyum menampakkan dua matanya yang menyipit. Ia tahu jika Soojung sangat menyukai cincin pengikat pemberian kakaknya tersebut.
Berhenti sebentar, ia membetulkan kuncirannya yang hampir terlepas.
"Oiya, kemarin kalian mengobrol apa saja?"
"Siapa?" Seulgi menjawab masih menatap dua kakinya, ia harus memperhatikan benar-benar kondisi pelataran yang dilaluinya.
"Kau dan Jimin. Dia mengantarmu sampai rumah kan?"
"Oh, itu..., " kali ini Seulgi berhenti lagi. Tapi wajahnya sedikit berubah.
"Iya, apa saja yang kalian obrolkan?"
Seulgi menatap wajah penuh tanya Soojung. Dikatupkan, bibir dalamnya ia gigit perlahan. Seperti menyimpan sesuatu tapi ia malu untuk mengatakannya.
"Hei, kenapa diam?"
Mengerjap saat tubuh Soojung semakin mendekat padanya, Seulgi mendesah kecil. "Sebenarnya Park Jimin itu seperti apa, Jungie?"
"Hem?" Kini alis Soojung bertaut, "apa yang mau kau ketahui?" Ia bertanya balik.
Seulgi kian canggung. "Maksudku, apa dia selalu seperti itu dengan setiap perempuan?"
"Seperti bagaimana? Aku tidak mengerti."
Sekali lagi Seulgi berpikir jika cara terbaik pemulihan dirinya saat ini hanyalah memikirkan bagaimana cara dua kakinya bisa berjalan secepat mungkin tanpa diganggu pikiran yang lain. Perasaannya tepatnya.
"Malah diam lagi? Maksud pertanyaanmu apa sih? Jimin playboy, begitukah? Atau dia kasar? Tapi setahuku tidak untuk opsi yang terakhir."
Mengurungkan niat bertanya lebih lanjut, Seulgi akhirnya diam.
"Ayolah, kau membuatku penasaran setengah mati, Seul!"
"Tidak jadi. Aku cabut lagi pertanyaanku."
"Eh?"
Senyuman penuh arti Seulgi mungkin jawaban pertanyaan dalam benak Soojung. Apa terjadi peristiwa di malam ia melepas Seulgi untuk diantar Jimin? Jika itu menyakiti Seulgi, dia juga harus andil bertanggung jawab.
"Apa dia kurang ajar padamu? Katakan padaku, Seul."
Saling bertatapan dalam diam, Seulgi tiba-tiba merasakan tubuhnya membeku, aliran darahnya seakan terpompa cepat menuju wajah hingga ronanya semakin terlihat. Tetap berdiri, ia menatap lurus sebuah wajah yang kini semakin membuatnya kalut tidak jauh di belakang tubuh Soojung, tidak lagi menatap dua mata gadis di hadapannya.
Dia di sini?
Kening Soojung mengernyit, ia lalu menoleh ke arah yang sama dengan dua mata Seulgi. Memutar tubuh, ia melihat Jimin berjalan menggandeng Jackson bersama wanita berkulit gelap tinggi semampai. Mereka tampak saling melempar senyum, bahkan Jackson tidak sungkan berdekatan dengan sumber pertanyaan Seulgi selama beberapa hari terakhir.
"Jimin?"
Seulgi menahan tangan Soojung. Sepertinya lelaki itu tidak tahu mereka berdua ada di sana, diantara pejalan kaki yang memenuhi pelataran di luar Istana Birmingham. "Jangan disapa."
"Kenapa?"
"Pokoknya jangan. Sekarang bantu aku untuk lebih cepat pergi dari sini."
"Tapi...," belum selesai kalimat Soojung, Seulgi menggerakkan kruk untuk mulai melangkah, menjauh.
"Kuambilkan kursi roda ya?" Tawar Gadis Jung, kuatir.
"Jangan tinggalkan aku, Jungie!"
Jung Soojung tetap tidak mengerti mengapa sikap Seulgi berubah. Melirik sebentar sembari menyembunyikan keberadaan mereka sesuai permintaan Seulgi, Soojung hanya mendesah kecil. Mungkin apa yang ada dalam benaknya sama dengan apa yang dipikirkan Seulgi. Apakah dia -wanita Afro-Amerika itu, adalah ibu Jackson?
Jika iya, maka pertanyaan selanjutnya yang berusaha ia jawab sendiri adalah, apakah calon adik iparnya itu patah hati? Apa yang sebenarnya terjadi malam itu?
--------
Ponsel masih digenggamnya, sendiri menikmati malam berteman lagu yang mengalun dari player yang diputar. Putra imutnya sibuk dengan buku gambar bersama nenek dan kakeknya. Jackson Park sepertinya semakin disayang keluarga kecilnya.
Lalu,tiba-tiba Jimin teringat Seulgi saat ia melihat mobil Soojung melewatinya dan Jackson tadi siang. Mobil Gadis Jung sangat khas hingga ia hafal betul. Sepertinya Soojung tidak sendiri, ada seorang perempuan di dalamnya. Sekilas postur duduknya mirip Seulgi.
Ah, padahal gadis itu mulai menghilang lagi setelah malam terakhir ia mengantarnya pulang.
Apa dirinya salah lagi?
Apa ada kalimatnya yang tidak tepat?
Bukankah malam itu mereka benar-benar menikmati kebersamaan lewat sebuah lagu? Semua berjalan lancar sampai saat gadis itu turun dari mobil, Jimin melingkarkan tangan kanannya pada pinggang ramping milik Seulgi.
Bukan apa-apa, semua karena gadis itu sepertinya terlalu lelah berjalan. Jimin hanya ingin membantu mengurangi beban naik turun dari mobil. Itu saja, tidak lebih. Meskipun yah, ia harus menahan diri untuk tidak mencium pipi gadis itu karena aroma vanilla yang menguar dari tubuh Seulgi.
Menimbang lagi, ia memutuskan untuk mencari sebuah kontak, lalu menekan nomor yang ia cari.
Tut! Tut!
Terdengar nada sambung, tidak ingin berspekulasi apapun, Jimin masih berupaya untuk bisa berkomunikasi lagi dengan gadis tersebut.
Tidak diangkat. Pemuda Park sedikit kecewa, namun yang kemudian ia lakukan adalah mengirim pesan. Ia tidak ambil pusing apakah nanti ia ditolak atau diterima.
Kurasa mengunjungimu bersama Jackson tidak ada salahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
One In A Million
Фанфик[Tamat] Seulgi berpikir jika dunia tidak adil padanya saat karir bermusiknya harus berhenti. Tapi ketika dunia yang ia cintai benar-benar melepasnya, ada satu dunia baru yang menyambutnya. Lantas sebuah pertanyaan terlontar, apa yang telah kau berik...