Raka terlalu banyak berharap kepada Mas Abdul
------------
Setelah semalaman Raka begadang menulis baris demi baris kalimat untuk Sesha, akhirnya pagi tadi surat itu dikirimnya. Ia mempercayakan suratnya kepada jasa pengiriman yang paling mahal. Yang katanya sehari sampai. Raka sepertinya tidak takut bokek lagi. Semuanya demi Sesha.
Kamar Raka diketuk. Ia segera membukanya. Dilihatnya Mas Abdul berdiri di depan pintu dengan senyum mendamaikan seperti biasa.
"Mas Raka, ada—"
"Surat ya, Mas?" potong Raka terlihat bersemangat.
Mas Abdul menggeleng. "Bukan Mas. Ada motor yang mau keluar. Motor Mas Raka ngalangin jalan."
Raka mendengus. Ia tak pernah membayangkan jika mimpi indahnya bertemu dengan surat Sesha bisa rusak hanya karena Mas Abdul. "Iya, Mas," balas Raka. Lalu cowok itu pergi untuk memindahkan motornya.
Suratnya akan sampai ke Sesha besok pagi.
Berulang kali Raka mengingatkan diri tentang itu. Tapi tetap saja, setiap melihat Mas Abdul berkeliaran di kost, Raka seperti menyimpan harapan bahwa Mas Abdul akan menghampirinya dengan sepucuk surat di tangan.
Raka mendesah. Seharusnya ada jasa pengiriman yang lima menit sampai. Pakai portal kek.
Raka yang sekarang tengah tiduran di kasur mendadak bangkit ketika mendengar Mas Abdul memanggil namanya. Ia langsung melesat ke pintu kamar dan membukanya.
"Iya, Mas?" tanya Raka seketika. "Ada surat, ya?"
"Nggak, Mas. Ini kaos Mas Raka yang dijemuran terbang dan jatuh di comberan."
Raka menatap tak percaya Mas Abdul dan kaos yang digenggamnya. Dengan lesu Raka mengangguk dan mengambil alih kaos yang terlihat basah dan kotor.
"Makasih, Mas," balas Raka. Mas Abdul mengangguk. Sebelum Mas Abdul beranjak pergi, Raka kembali berkata, "Mas Abdul kalau mau ketemu aku harus bawa surat. Biar aku nggak tambah galau."
"Gimana, Mas?"
Raka mengembuskan napas lelah, lalu berkata, "Nggak, Mas. Lupakan."
Mas Abdul yang kebingungan hanya mengangguk dan kemudian pamit. Sepeninggalan Mas Abdul, Raka menyibukkan diri dengan mencuci kaos yang sempat terjun bebas ke comberan itu. Ia kembali mengingatkan diri sendiri bahwa suratnya masih di jalan, belum sampai ke Sesha. Tapi, Raka juga berharap bahwa Sesha akan mengiriminya surat tanpa perlu menunggu surat darinya.
Raka menghela napas kasar. Mungkin inilah galau yang sesungguhnya.
"Rajin banget, Ka. Mbok punyaku juga sekalian cuciin," ucap suara di belakang Raka. Seketika Raka menoleh. Dilihatnya Dimo tengah berdiri di ambang pintu kamar mandi. Tangan kanannya memegang sesuatu yang sepertinya pakaian kotor.
"Males," sahut Raka.
"Nitip kaos satu aja, Ka. Sayang detergen."
"Pakai detergen punya Adam aja. Tuh." Raka menunjuk sebungkus besar detergen yang berada di boks dekat pintu yang berisi bermacam-macam kebutuhan mandi dan cuci. "Aku juga tadi pakai itu. Adam nggak bakal tau. Dia nggak penah nyuci baju sendiri sekarang. Dia sekarang ke laundry terus."
"Sayang tenaga juga, Ka."
Seketika Raka melirik tajam ke arah Dimo. "Bilang aja males. Pakai segala macam alasan sayang detergen."
Dimo terkikik mendengar omelan Raka. "Nitip ya, Ka. Satu tok ini lho," bujuknya. "Nanti malam tak beliin martabak wes."
Raka kembali melirik Dimo. Ia tegoda dengan iming-iming itu. Jarang-jarang Dimo mau membelikannya martabak. Raka juga butuh asupan cemilan untuk nanti malam. Siapa tahu Raka kembali galau. "Beneran beliin? Nggak ngibul?"
"Benerlah, Ka. Aku abis dapat kiriman uang dari Bapak." Dimo menampakkan wajah bangga yang membuat Raka mendengus.
Mentang-mentang habis dapat kiriman aja sombong, sok mau beliin martabak. Biasanya juga pelit.
"Iya deh, siniin kaosnya," kata Raka akhirnya yang disambut Dimo dengan senyum mengembang. Kata orang kan tidak boleh menolak rezeki. Meskipun itu harus nyuciin kaosnya Dimo.
"Makasih Raka yang paling baik sedunia," ucap Dimo seraya menyerahkan pakaian kotornya kepada Raka. "Semangat nyucinya, Raka. Dadah!" Dan dengan begitu Dimo pergi meninggalkan Raka dan cuciannya.
Raka melerai pakaian kotor Dimo sebelum dimasukkannya ke dalam ember. "Dim, ini satu kaos, satu kolor dan sepasang kaos kaki!" protes Raka memandang kaget pakaian kotor Dimo. Katanya cuma satu kaos? Ini sih, lebih!
Samar-samar Raka mendengar balasan dari Dimo. "Wah aku salah hitung berarti. Nanti malam tak beliin martabak, Ka."
"Dasar Dimo," gerutu Raka seraya melempar pakaian kotor itu ke dalam ember di hadapannya.
Raka kembali sibuk mencuci. Sesekali ia mengomeli kolor Dimo yang bergambar Elsa dari film animasi Frozen. Lalu, ketika ia melirik ke arah pintu, dilihatnya sosok Mas Abdul mendekat ke arah kamar mandi. Awalnya Raka terlihat lesu dan tak peduli. Tapi ketika menyadari bahwa Mas Abdul memegang selembar kertas putih membuat semangat Raka seketika melonjak.
"Surat, Mas?" tanya Raka ketika Mas Abdul berada di ambang pintu. Seketika Raka mencuci tangannya yang terkena busa sabun dan mengeringkannya dengan kaos biru yang dipakainya.
Mas Abdul menyerahkan kertas putih itu yang disambut Raka dengan kegembiraan yang melimpah ruah. Jantung Raka berdegup kencang karena gugup juga senang. Segera ia membuka kertas itu dan membaca isinya.
Aku mau beli makan. Mas Raka nitip nggak?
Jantung Raka seakan merosot ke perut ketika membaca tulisan tersebut. Diliriknya Mas Abdul yang sedang memandangi Raka dengan sabar.
"Ini dari Mas Abdul?" tanya Raka dengan susah payah.
Mas Abdul mengangguk. "Iya, Mas. Tadi aku minta kertas ke Mas Jojo buat nulis surat itu." Senyum lebar Mas Abdul terpasang di wajahnya. "Mas Raka kan tadi bilang katanya kalau mau nyamperin suruh bawa surat."
Raka merasa kepalanya berdenyut sakit. Ia tak pernah mengira akan mendapatkan surat dari Mas Abdul seperti ini. Apa salah Raka, ya Allah?
"Gongso telur tempe, Mas. Yang pedes. Sama es jeruk," jawab Raka pasrah. Mas Abdul mengangguk dan memberikan dua jempol sebelum meninggalkan Raka yang sudah tertunduk lesu.
-----------
[16.09.2017]
So sweet ya, Raka dapat surat dari Mas Abdul. Hahaha
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Untuk Raka (SUDAH TERBIT)
Teen Fiction[Pemenang Wattys 2019 kategori Young Adult] (Novel sudah bisa dibeli di toko buku) Raka menerima sebuah surat yang berisi kata putus. Tapi masalahnya Raka tidak punya pacar. Dia pun tidak kenal nama pengirim surat tersebut. Bagaimana bisa dia diputu...