Kegalauan Raka yang tak pernah usai
-----------
Raka berjalan dengan kepala tertunduk lesu. Ia kembali memikirkan surat macam apa yang dikirimkannya kepada Sesha. Dan semua pikiran itu berakhir dengan segala hal buruk. Bisa saja Raka mengirim surat dengan sebaris kata 'Hai Sesha' diikutin kata-kata tak jelas yang tercoret tinta hitam sampai tembus di belakang kertas. Atau malah, Raka mengirim salah satu kertas berisi fotocopian tugasnya. Raka benar-benar gelisah.
Mata Raka menatap pintu di hadapannya. Ia mengembuskan napas kasar dan langsung membukanya. Kepalanya melongok ke dalam. Dilihatnya kelas itu sudah penuh oleh mahasiswa. Seorang dosen bahkan sudah duduk manis di mejanya. Raka tersentak, lalu buru-buru masuk ke dalam.
"Maaf telat, Pak," kata Raka buru-buru. Ia melirik berpasang-pasang mata yang berada di sana. Lalu, ia baru menyadari bahwa wajah mereka agak asing. Bahkan Gian dan Prima tidak ada di sana.
"Salah jam kamu, Ka. Kelasnya belum kelar," ucap seorang cowok berbadan gempal yang duduk di kursi paling depan.
Seketika Raka membatu. Lalu ia mulai cengar-cengir ke arah dosen yang tengah memandangnya geli. Hampir seisi kelas kini sudah tertawa karena mengetahui kesalahan Raka.
"Oh, hehe ... maaf kalau gitu, Pak. Permisi." Raka menunduk hormat, berbalik dan keluar dari kelas itu.
Di deretan bangku depan kelas, dilihatnya Gian dan Prima tengah tertawa terpingkal-pingkal. Sepertinya kedua orang itu menyadari kecerobohan Raka barusan. Mereka terlihat puas menertawakan sahabatnya itu.
"Kamu ngapain sih, Ka? Semangat banget kuliahnya," kata Gian masih tertawa.
"Jahat ya kalian. Nggak ngasih tau aku kalau kelasnya belum mulai," cibir Raka. Ia mengambil duduk di sebelah Prima.
"Kamu punya telinga mbok dibersihin sih, Ka. Tersumbatkan sekarang. Wong dari tadi udah kami panggil. Tapi kamunya nggak denger, main masuk kela saja." Prima geleng-geleng kepala, terlihat heran dengan sikap ajaib Raka.
Raka mendengus. "Orang galau ya begini."
"Galau kok terusan sih, Ka? Kayak tugas kuliah, nggak kelar-kelar."
"Ya gimana? Aku salah kirim surat ke Sesha, Yan."
"Salah kirim gimana? Salah alamat?"
Raka menggeleng. "Isinya salah, Prim. Dan aku nggak tau surat macam apa yang kukirimke Sesha. Aku tuh nulis surat banyak banget. Salah, coret, buang. Gitu terus. Bahkan kayaknya ada surat yang kena ilerku pas ketiduran di meja belajar. Kalau itu yang terkirim gimana?"
Gian dan Prima kembali tertawa. Mereka benar-benar tak menyangka jika Raka akan sekonyol ini jika berhadapan dengan surat dan Sesha.
"Kalau surat dengan tempelan ilermu yang terkirim, aku yakin pasti bakalan dibales Sesha dengan gambar telapak tangan," kata Gian menatap Raka sungguh-sungguh.
"Gambar telapak tangan?" Raka menatap Gian bingung.
Gian mengangguk. "Tamparan jarak jauh," jawab Gian, tertawa terpingkal-pingkal membayangkan nasib buruk Raka. Prima pun ikut tertawa.
"Sembarangan!" Raka mendengus kesal. "Aku kudu piye iki?"
"Santai toh, Ka. Tinggal tunggu balasan Sesha aja. Sukur-sukur dia nggak bales. Jadi kamu kan nggak bakal malu kalau dia bahas suratmu yang isinya mengkhawatirkan." Prima menepuk pundak Raka, menenangkan. Tapi tawanya masih tersisa yang membuat Raka merengut kesal.
Lagian, apa yang Raka harapkan dari dua manusia menyebalkan ini? Saran? Jelas tidak akan dapat.
-------------
[21.09.2017]Makasih buat semua yang udah pada mampir ke sini ♡♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Untuk Raka (SUDAH TERBIT)
Teen Fiction[Pemenang Wattys 2019 kategori Young Adult] (Novel sudah bisa dibeli di toko buku) Raka menerima sebuah surat yang berisi kata putus. Tapi masalahnya Raka tidak punya pacar. Dia pun tidak kenal nama pengirim surat tersebut. Bagaimana bisa dia diputu...