07][Surat Untuk Raka

57.3K 4.5K 89
                                    

Raka galau karena surat------------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Raka galau karena surat
------------

Raka duduk diam di kursinya. Wajahnya murung. Pikirannya kacau. Sekarang, ia tengah memikirkan surat dari Sesha. Apa salah Raka sampai dimarahi begitu?

"Kenapa lesu gitu, Ka?" tanya Prima memandang Raka dengan tatapan bingung. Cowok itu lalu mengambil duduk di sebelah Raka.

"Habis dimarahin," jawab Raka.

"Dimarahin siapa?" tanya Prima lagi. "Ibu kost?"

Raka menggeleng. Sepetinya lebih enak dimarahi Ibu kost karena pasti beliau memarahi dengan alasan yang jelas. Tapi cewek itu?

Raka menghela napas panjang, kemudian mengeluarkan selembar surat dari dalam tasnya. Ia menatap surat itu dengan tatapan sedih. "Sesha."

"Sesha siapa?" Gian yang baru datang langsung ikut nimbrung. Cowok itu duduk di sebelah kiri Raka dan memandangnya dengan kening berkerut.

"Cewek yang ngirimin surat aku. Yang dulu mutusin aku itu, Yan."

Gian mengangguk, paham. Ia ingat Raka diputusin lewat surat padahal Raka sendiri tidak punya pacar.

Prima tertawa sendiri mendengar penuturan Raka itu. "Udah mutusin, terus marahin kamu. Kamu bener-bener kasihan ya, Ka."

Raka mengangguk setuju. Dirinya pun merasa kasihan dengan diri sendiri.

"Dimarahin gimana emang?" tanya Gian penasaran.

"Baca aja," kata Raka menyerahkan surat dari Sesha kepada Gian. Prima yang penasaran dengan surat itu langsung bangkit dan pindah duduk di samping Gian.

Raka melirik mereka berdua yang tengah fokus membaca surat dari Sesha. Prima mengernyitkan dahi, tampak sedang berpikir. Sedangkan Gian, cowok itu sudah tertawa geli seraya melirik ke arah Raka. Paling tidak, ada orang yang bahagia membaca surat itu.

"Kamu yakin nggak pacaran sama Sesha?" tanya Prima.

Gian menyerahkan kembali surat itu kepada Raka. Yang diterima cowok itu dengan wajah penuh beban."Kan kamu tahu sendiri aku nggak punya pacar, Prim," jawab Raka.

"Tapi Seshanya kayak yakin gitu kalau kamu pacarnya dia."

Raka mengangkat kedua bahunya. Dia pun tak tahu kenapa Sesha sangat yakin jika dia adalah pacarnya. Sepengetahuan Raka, pacaran itu harus tahu sama tahu. Kan tidak mungkin jadian tanpa salah satunya tidak tahu.

"Mungkin Sesha berhalusinasi pacaran sama kamu," kata Gian. "Kamu harusnya bangga, Ka. Ada yang ngayal pacaran sama kamu." Gian tertawa yang membuat Raka berdecak sebal.

"Gimana bisa berhalusinasi pacaran sama aku kalau kenal aja enggak?" Raka melipat kembali suratnya dan memasukkannya ke dalam tas.

"Ya udah, biarin aja, Ka. Nggak usah ditanggepin," saran Prima.

Raka mengangguk. Mungkin memang sebaiknya ia mengabaikan surat itu. Tapi jika tidak dibalas, Raka nanti gelisah dan kepikiran. Bagaimanapun juga, Raka merasa harus menjelaskan sesuatu kepada Sesha.

"Aku balas aja, deh," kata Raka.

"Karepmu, Ka."

***

Raka termenung di depan meja belajarnya. Kedua surat dari Sesha yang ia terima berada di hadapannya. Semakin Raka memikirkan mengapa Sesha mengiriminya surat, kepalanya semakin pusing. Seharusnya ia pusing dengan tugas kuliah yang belum ia kerjakan, bukan pusing karena surat dari Sesha. Tapi mau bagaimana lagi, sosok Sesha sudah memenuhi otaknya sehingga tak ada ruang kosong untuk tugas kuliahnya. Ia harus segera membereskan masalah soal Sesha.

Raka menghela napas dalam dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Matanya masih mengamati dua lembar kertas di hadapannya. "Kenapa kamu tiba-tiba muncul dan bikin aku kebingungan sih, Sha?" gumam Raka.

Samar-samar Raka mendengar hentakan musik dari kamar sebelahnya. Suara lagu yang mengalun membuat Raka mengernyit. Spontan ia menoleh ke arah tembok di sisi kanannya. Kamar Adam memang tidak pernah sepi. Dia selalu memainkan musik setiap kali berada di kamar.

"Kamar Adam lama-lama kayak diskotik. Berisik banget," gumam Raka menggaruk telinga kanannya yang terasa gatal. Suara musik yang tadi terdengar samar-samar kini semakin keras. Cukup mengganggu bagi Raka yang sedang sibuk memikirkan sosok Sesha dan suratnya.

Tanpa mempedulikan lagu yang diputar Adam, Raka mengambil botol berisi air mineral di meja dan menenggak isinya. Lalu ia menarik selembar kertas dari tumpukan buku di meja belajar dan mengambil pulpen dari laci mejanya. Raka membuka tutup pulpen dan mulai menulis kata demi kata. Tapi karena musik yang diputar Adam terlalu berisik, Raka jadi susah berkonsentrasi.

"Adam, kecilin musiknya!" teriak Raka seraya mengetuk tembok pemisah kamarnya dan kamar Adam.

"Piye, Ka?" Terdengar teriakan dari kamar sebelah. Suara Adam bahkan kalah keras dari suara musik yang tengah ia mainkan.

"Kecilin volumenya! Berisik!"

"Kerasin volumenya?" Adam balik berteriak. "Siap!"

"Bukan," balas Raka masih berteriak.

Hentakan musik semakin keras terdengar. Membuat Raka menutup kedua telinganya tengan jari telunjuk. Adam nyari gara-gara. Raka yakin, sebentar lagi akan ada teriakan protes dari dari penghuni kost yang lain.

"Adam!"

"Woi berisik!"

"Ganggu orang tidur!"

"Matiin musiknya woi! Berisik!"

Dan benar dugaan Raka, teriakan demi teriakan datang silih berganti untuk menegur Adam hingga cowok itu benar-benar mematikan lagu yang tadi tengah dia mainkan. Dengan begini, ahirnya Raka bisa membalas surat untuk Sesha dengan damai dan tenang.

Tapi, omong-omong, Raka mau balas apa ya tadi?

-------------
[12.03.2018]

Surat Untuk Raka (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang