Sudah cukup lama tidak menghadiri acara perilisan perdana film yang dibintangi oleh diri sendiri sekaligus nonton bareng fans di bioskop. Perasaanku campur aduk antara senang, bangga, terharu karena ternyata fansku masih setia mengiringi perjalanan karirku. Artis lain juga hadir. Ada produser, sutradara dan para wartawan yang ingin meliput membuat acaranya jadi semakin ramai. Sayang, sampai pemutaran filmnya selesai para fans dan wartawan dilarang mendekati kami.
Para fans langsung merubung kami meminta foto begitu lampu terang dinyalakan pertanda berakhirnya penayangan perdana film The Unforgettable village. Beberapa orang bodyguard cekatan mengamankan kami keluar dari bioskop menuju aula perilisan. Aku, Rean, Cherry dan Lutfi dua artis cilik hebat yang menjadi pemeran utama film The Unforgettable village diminta naik ke atas panggung mewakili artis-artis lain mengadakan jumpa pers sekalian promosi. Bagi yang ingin bertanya nanti ada sesi tanya-jawab berkaitan dengan filmnya tidak diperbolehkan menanyakan hal lain yang tak ada kaitannya dengan film The Unforgettable village apalagi masalah pribadi para pemerannya. Pak produser dan pak sutradara juga setia mendampingi kami.
Setelah cukup lama para fans menunggu akhirnya acara resminya berakhir. Kini mereka diperbolehkan meminta foto maupun tanda tangan para artis.
“Mba Radiya… aaaaaa!!” Mereka sampai teriak-teriak menyambut kedatanganku. Ada yang sampai nangis saat aku memeluknya. Aku jadi terharu pingin nangis juga.
“Radiya!” panggil Zein ditengah-tengah acara kangen-kangenanku sama fans. Terpaksa aku harus menyudahinya. Sebenarnya tak enak membuat mereka kecewa tetapi mau bagaimana lagi. Zein sengaja aku ajak supaya tidak berfikiran buruk tentangku karena ada Rean di sini.
“Maaf ya…!” ucapku pada fansku sebelum menyudahi acara haru biru ini. Semoga mereka memahami keadaanku.
Meninggalkan fans malahan terperangkap wartawan yang tiba-tiba mengeroyok kami dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Mas Zein, bagaimana tanggapan anda mengenai filmnya?”
“Bagaimana akting isteri anda?”
“Bukankah ada Rean, mantan pacar isteri anda yang jadi lawan mainnya?”
“Apa anda cemburu?”
Astaga, semua pertanyaan membidik Zein. Aku benar-benar khawatir dia akan melakukan sesuatu yang membahayakan sekaligus memalukan. Berbeda dengan fansku, para wartawan ini memang tidak pernah mau mengerti keadaanku meskipun tahu Zein seorang pemarah. Mereka sepertinya menyengaja, suka melihat hubunganku dan Zein hancur demi mengejar berita.
“Filmnya sangat bagus, aku tidak menyangka kalau isteriku semumpuni ini dalam berakting.”
Cukup terkejut mendengar jawaban Zein yang tidak kusangka akan berucap seperti itu.
“Mengenai lawan mainnya?”
“Rean juga sangat bagus. Mereka berdua sangat cocok, di film.” Mesem Zein mengekspos deretan gigi putih dan rapinya yang hampir sebulan sekali tidak pernah terlambat dibawa ke dokter gigi langganannya.
Aku justru khawatir makna tersembunyi dibalik senyuman yang menurutku itu seringaian.
“Apa anda cemburu?”
“Cemburu?”
“Hahaha…” Zein tertawa, “Hanya berakting buat apa cemburu.”
Benar, memang kamu tidak pernah cemburu karena cemburu itu berarti cinta. Tetapi ini kemarahanmu yang tidak suka melihatku bersama mantan kekasihku. Karenanya aku harus waspada barangkali tiba-tiba Zein menyerangku dengan sindiran mengarah ke perdebatan.
“Katanya anda tidak mengizinkan isteri anda syuting lagi?”
Zein menolehku, mata kami bertubrukan mengisyaratkan sesuatu. Kualihkan tatapan ke depan memotong pertanyaan para wartawan, “Sudah ya… sudah!” menghindari pertanyaan yang bisa saja memperkeruh suasana hati Zein yang sudah butek. Bagaimana kalau Zein meraung di sini?
Dibantu beberapa orang bodyguard kami berdua terselamatkan dari bidikan pertanyaan mematikan para wartawan yang tidak akan pernah berhenti menggencar.
Di dalam mobil, tampak sekali kekesalan di wajah Zein sampai aku tak berani menatap wajahnya. Sembari menebak-nebak apa yang akan Zein ucapkan aku mengumpulkan segudang kata-kata sebagai penyangkalan. Aku tahu ucapannya nanti sarat akan tuduhan dan ancaman. Rupanya Zein tidak membahas apapun di dalam mobil membawa kedongkolannya hingga sampai rumah.
“Akting kalian bagus, romantis. Aku yakin fans kalian berharap agar kalian segara melangsungkan pernikahan.” Ucap Zein begitu keluar dari dalam kamar mandi sementara aku baru kembali ke kamar setelah menengok Raffa.
Mengingatkan aku pada sebuah bagian di akhir cerita The Unforgettable village memang ada adegan romantis antara aku dan Rean yang menurutku biasa saja bahkan tidak sempat terfikir olehku kalau Zein akan memperhatikannya.
“Itu hanya adegan jalan-jalan biasa bagaimana kamu bisa menganggapnya seperti itu,” mengambil handuk basah yang dibuang di sembarang tempat oleh Zein aku mengantungnya dengan kesal.
Aku terkejut saat membalikkan badan tubuh besar Zein sudah berada di belakang menghalangi jalanku kedua matanya mengunci penglihatanku.
“Bukan aku, tetapi fansmu!” timpalnya kini mengunci mulutku.
“Itu kesempatan kan, supaya kalian bisa berduaan?”
“Apa maksudmu?” Aku sedikit menekankan suaraku berjalan mundur ke belakang saat Zein melangkahkan kakinya ke depan berusaha mengurangi jarak di antara kami.
“Kamu masih mencintainya, makanya kamu menentangku!!” Bentaknya serta-merta padaku seraya meletakkan kedua tangannya di tembok mengurungku.
Kenapa harus ada tembok disini sih?
Mempersulit penghindaranku sudah tak bisa berjalan mundur lagi. Hanya bisa memejamkan mata berusaha mengatur dentuman jantungku yang menderu.
“Tidak, kenapa kamu berfikir seperti itu?” ucapku lirih berharap kemarahannya mereda.
Tidak menjawab pertanyaanku malahan Zein mengajukan pertanyaan lagi menyulitkan mulutku dalam berucap karena tahu itu adalah umpan, umpan untuk memancing kemarahannya yang sesungguhnya.
“Apa bedanya aku dengannya?” nada suaranya merendah namun bersifat mengancam.
Aku gemetaran. Mulutku susah berbicara untungnya masih bisa aku paksa meskipun terbata-bata, “Ti... ti_dak ada.”
“Heh, bohong.” Zein menyeringai.
Iya benar, aku memang berbohong. Ada banyak perbedaan antara kamu dan Rean andai kamu mau mengakuinya. Sayangnya kamu tidak bakalan menerima seandainya aku berkata jujur. Terpaksa aku berdusta karena tak mungkin mengatakannya.
“Bukankah aku juga tampan sepertinya? Tubuhku juga nggak kalah bagus darinya. Mungkin dia sedikit lebih tinggi dibanding aku, tapi aku jauh lebih kaya ketimbang dia. Kenapa kamu lebih milih dia daripada aku?” mengatupkan rahang Zein mengucapkan kalimat terakhirnya lirih sambil menangkup rahangku dengan tangan kanannya sedikit menekannya.
“Zein…!” pekikku sembari menghempas tangannya dari pipiku. Dikira nggak sakit apa.
“Jika menurutmu kekayaan atau ketampanan yang membuatku lebih memilihnya dibanding dirimu, itu salah.”
“Lalu apa?” tantangnya, menggapai kembali rahangku kedua matanya memelototi aku.
“Hati. Apa kau memilikinya untuk sekedar mengasihani diriku?” meskipun susah untuk berbicara aku berusaha untuk tetap mengatakannya.
Zein melepas tangannya dari rahangku entah kenapa tubuhku melemas dan terjatuh. Tanpa berkata apa-apa Zein meninggalkan aku. Benar kan, orang sepertimu tak punya hati bagaimana bisa aku memilihmu. Tidak terasa cairan bening meleleh dari kedua pangkal mataku, segera kuhapus dan beranjak berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Soulmate (End) ✔
General Fiction"Cantik!" Ucapnya tiba-tiba. Darahku berdesir kencang. Belum sempat menstabilkannya tangannya sudah menyentuh pipiku mengelus lembut menggidikkan bulu kuduk. Apa ini? Merasa aneh dengan ketidakwajarannya. Bukan rasa senang mendapatkan pujian darin...