Merasa sesak berada di rumah yang sejak 5 tahun terakhir aku tempati. Mungkin dulu masih bisa bertahan karena hanya seorang saja yang mengabaikan, tapi sekarang sepertinya semua orang menjadi begitu kejam terhadapku. Ada banyak orang di sini tapi tidak ada seorangpun yang menganggapku ada. Mereka semua mendiamkan menganggapku sekadar bayangan atau bahkan telah tiada. Kenapa tidak langsung mengusirku saja andaikan sudah tak menginginkan aku menjadi menantu di keluarga ini. Kenapa harus menyiksaku begini. Bunuh saja aku sekalian agar tak merasa sakitnya terabaikan.
"Ma, ini taruh mana?" tanyaku pada mama yang sedang menyiapkan sarapan karena bibi sedang cuti.
Mama diam tidak menolehku bahkan melirik pun enggan. Sibuk dengan kegiatan menata hidangan di meja malahan berbicara dengan orang lain yang baru datang, "Zein, duduk sayang!"
Zein melirikku dengan tatapan yang sama seperti biasanya. Inginku mencolok matanya.
Mama menyambangi Zein lalu menarik keluar sebuah kursi memerintahkan Zein supaya duduk, "Duduklah! Mama buatin lauk kesukaanmu. Mana ya..."
Kulirik sesuatu yang sedang aku pegangi. Mama pasti mencari ini. Telur balado kesukaan Zein yang sejak tadi aku tanyakan pada mama untuk ditaruh di mana hingga kini belum kuletakkan di meja karena takut salah menaruhnya. Seperti Zein yang perfeksionis, bagi mama menata hidangan ada aturan mainnya. Harus rapi dan sempurna.
"Ini ma..." ucapku pada mama menyodorkan sesuatu di tangan.
Mama menolehku langsung merebut piring oval tempat menaruh telur balado itu dari tanganku dengan kasar sampai sebagian telurnya mencolot ke atas hampir mengenai wajahku. Beruntung bisa aku tepis dengan tangan sehingga tanganku yang merasa kepanasan karena telurnya baru saja matang. Ditambah sambalnya yang pedas, tak usah membayangkan bagaimana rasanya di kulit.
"Auw!" refleks aku berteriak, langsung menuju wastafel. Kubasuh tanganku yang mulai memerah serta kutiupi untuk mengurangi rasa perihnya.
"Momi kenapa?"
Malaikat kecilku menghampiri. Segera kuhapus lelehan air yang tanpa terasa mengalir di pipi. Rasa perih dan panas di tangan lantaran ketumpahan sambal balado belum apa-apa dibandingkan perih dan panas yang kurasakan dalam hati ini. Itu sebabnya aku menangis.
"Nggak pa pa sayang..."
Aku menggendong Raffa yang sedang mengusapi air di kedua mataku. Kukecup kening lalu mencium pipi tembamnya, sungguh menggemaskan.
Malam hari aku sengaja menunggu Zein kembali dari kantor. Sebenarnya ingin tidur tapi mata ini sulit terpejam sebab hati gelisah ingin melepas beban yang sudah tak sanggup lagi kutahan.
Zein terkejut begitu membuka pintu aku masih terjaga. Tanpa berucap apa-apa Zein langsung menaruh tasnya di meja lantas melepas sepatunya. Kuamati pergerakannya hingga ia keluar dari dalam kamar mandi sudah mengganti pakaian dengan piama. Saat Zein akan menuju kamar Raffa, aku mengatakan sesuatu padanya.
"Apa Junot sudah pulang?"
Zein menengokku.
"Mungkin kamu tahu di mana dia sekarang atau ada seseorang yang kamu percaya bisa menghubunginya..."
Zein menghampiriku seraya mengatakan, "Apa maumu?"
"Aku hanya ingin Junot kembali agar semua orang percaya ucapanku."
Denyut jantungku terasa berhenti begitu jurus andalannya ditampakkan. Tatapan sinis Zein yang mematikan! Aku berjalan mundur menghindari tatapannya dari jarak dekat karena Zein terus melangkahkan kakinya ke depan. Apa ini? Sudah berani memulai juga harus berani mengakhirinya. Jika aku terus mengalah maka mereka akan menganggapku bersalah dan tak ada lagi kepercayaan untukku di mata mereka. Aku tidak mau dianggap pendusta apalagi tertuduh berselingkuh. Cukup seorang saja yang menganggapku begitu, yaitu tuan Zein Haydaan yang terhormat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Soulmate (End) ✔
General Fiction"Cantik!" Ucapnya tiba-tiba. Darahku berdesir kencang. Belum sempat menstabilkannya tangannya sudah menyentuh pipiku mengelus lembut menggidikkan bulu kuduk. Apa ini? Merasa aneh dengan ketidakwajarannya. Bukan rasa senang mendapatkan pujian darin...