Aradiya Niryana ;Aku selalu berusaha menjadi isteri yang baik agar kamu juga bersikap baik padaku, tapi perlakuan kasarmu yang ku dapatkan.
Aku selalu berusaha menjadi ibu yang baik karena aku juga menyayangi Raffa, tapi meragukanku itu sifatmu.
Aku selalu berusaha menjadi menantu yang baik sebab orang tuamu juga orang tuaku, tapi meremehkan penghormatanku adalah kebiasaanmu.
Aku selalu dan selalu berusaha menjadi yang terbaik agar kamu percaya padaku. Tapi, selalu kamu curiga terhadapku.
🌺🌺🌺
"Aku sudah rapihkan semuanya di dalam koper, silahkan cek barangkali ada yang kurang. Pesawatnya take off jam berapa? Oh ya, berapa hari di sana? Takut Raffa nanyain."
Memulai dengan basa-basi namun tak ditanggapi. Aku baru sadar kalau selama berbicara tadi Zein tidak mendengarkan malah sengaja mengabaikan. Harusnya tak perlu banyak bicara, tapi entah kenapa aku selalu berusaha seperti tidak terjadi apa-apa antara aku dan Zein. Sayangnya, Zein tidak pernah sependapat denganku.
Tanpa mengatakan apapun, Zein langsung mengambil kopernya dari tanganku bergegas keluar dari dalam kamar. Padahal ada sesuatu yang ingin aku sampaikan seandainya dia merespons ucapanku. Aku ingin bilang kalau kemarin manajerku menelpon, ada sebuah tawaran film pendek yang cukup bagus dan waktu syutingnya tidak lama, makanya ingin aku ambil. Tapi Zein mengunci mulutnya untukku.
"Mah, pah, aku berangkat ya," kata Zein pamit pada kedua orang tuanya yang sudah menunggu di bawah.
"Hati-hati ya sayang!" kata mama mengelus lembut kepala putra kesayangannya itu.
"Berapa hari kamu di sana?" sambung papa.
"Tiga hari, tolong jaga Rafa ya pah, mah!"
"Jangan khawatir," mama menimpali disambung papa lagi, "Lagi pula mominya nggak ikut ke Dubai kan?"
Zein melirikku sebentar sebelum akhirnya menjawab pertanyaan papa, "Enggak, aku pergi ya."
Bilang tidak ya? Bilang... tidak...
"Eh, Zein...!" Aku memanggilnya.
Menoleh ke arahku seperti biasa, Zein selalu menunjukkan mimik wajah tidak mengenakkan saat menatapku. Sudah terbiasa memang, tapi tetap saja merasa tidak nyaman apalagi di hadapan kedua orang tua.
Seandainya waktunya masih lama mungkin aku akan bicara saat dia pulang nanti. Tapi kata Restu manarjerku, besok adalah kesempatan terakhir untukku memutuskan. Makanya harus meminta izin pada Zein sekarang meski waktunya kurang tepat. Lebih tepatnya mendadak. Memang benar, begitu pemberitahuan dari sananya. Semoga saja dia mengizinkan aku syuting lagi karena sudah cukup lama sejak aku mengandung Raffa hingga sekarang usianya sudah 4 tahun aku belum pernah berakting. Rasamya rindu.
"Apa?" tanya Zein ketus memelototi aku.
Bagaimana tidak gemetaran coba?
"Restu menghubungiku, katanya ada tawaran syuting film pendek. Waktu syutingnya tidak lama. Apa_ aku_ boleh me ngam bilnya?" jadinya terbata-bata kan, takut Zein marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Soulmate (End) ✔
Fiction générale"Cantik!" Ucapnya tiba-tiba. Darahku berdesir kencang. Belum sempat menstabilkannya tangannya sudah menyentuh pipiku mengelus lembut menggidikkan bulu kuduk. Apa ini? Merasa aneh dengan ketidakwajarannya. Bukan rasa senang mendapatkan pujian darin...