Seneng banget kayaknya dari tadi ketawa mulu kagak berenti-berenti.
Sejak aku tunjukkan undangan pernikahan Zein padanya yang kemudian ia baca, awalnya Rean terkejut. Tidak tahu kenapa tiba-tiba tertawa terus. Emang lucu ya, di bagian mananya? Kata aku sih undangannya cantik, kebangetan malah. Pasti mahal tuh.
Aku memang belum sempat memberikan langsung pada Rean, eh tidak tahunya orangnya mencongol duluan. Datang ke rumah membawa oleh-oleh segala yang katanya dari fansnya buat Raffa. Maksudnya memang untuk Raffa titip ke dia atau sebenarnya buat dia lalu diberikan ke Raffa. Masa bodoh, cakenya enak juga lagi dimakan sama Raffa, nih aku lagi menyuapinya sambil menemani nonton film kartun sekalian nyobain dikit-dikit.
“Ini beneran Zein mo nikah?”
Seraya menggantung undangan di udara memperlihatkannya padaku, Rean menggurat garis tipis di kening menoleh ke arahku.
Ku pelototi Rean lantas menggeser bola mataku melirik Raffa. Maksudnya mengingatkan dia gitu loh. Meskipun kata Zein, sudah memberi tahu Raffa, tetapi tetap harus menjaga perasaannya. Raffa kan masih kecil, jadi belum mengerti urusan yang beginian. Besok kalau sudah besar jangan seperti momi dan dadi ya, nak.
“Ups,” Rean membungkam mulutnya sembari melirik Raffa.
Sepertinya Raffa sedang benar-benar fokus sama mobil-mobilan yang bisa ngomong, tuh mantengin TV dan tidak memperhatikan pembicaraan kami. Semoga saja dia nggak denger.
Memasukkan potongan kecil kue cokelat ke dalam mulut Raffa dengan garpu mungil, aku menjawab pertanyaan Zein.
“Iya. Gue juga terkejut waktu Zein ngasih undangan itu.”
“Hahahaha…”
Puas-puasin ketawa deh sono. Kalau kata orang tua jaman dulu, kalo lo ketawa mulu itu tandanya bakal nangis kemudian.
Menoleh ke arahku lagi, masih dengan mimik wajah nggak percayanya sampai tangannya ikut mengespresikan, Zein berujar lagi.
“Gue... nggak nyangka aja. Zein... Cepet banget gitu move on dari lo, Rad. Hahaha...”
Ketawa lagi. Nyebelin banget nggak sih menurut kalian?
“Nah lo kapan, Rad?”
What?
Pertanyaan aneh yang meluncur begitu saja dari mulut licin Rean. Dikira aku mau menanggapi apa. Sori ya, gue lagi nggak mood bercanda.
Ku biarkan Rean menatapku dari samping. Menunggu sampai kulitmu keriput pun tak akan pernah ku menjawabnya.
“Momi, udah kenyang. Mo pipis.”
Yeah, mengantar Raffa ke kamar kecil bisa ku jadikan alasan untuk menghindar dari pertanyaannya yang nggak bermutu itu.
“Ayo, momi antar.”
Menaruh piring kecil di atas meja, membantu Raffa turun dari sofa ku gandeng tangannya menuju toilet.
“Sekalian cuci muka dan gosok gigi, ya,” ucapku padanya.
Raffa mengangguk. Ku lihat wajahnya sudah kelelahan. Memang jamnya Raffa harus istirahat sih. Kembali ke ruang nonton tv melihat Rean lagi makan sisa cake yang hampir ludes dimakan Raffa sambil bertengger di atas sofa memelototi acara televisi, aku geleng kepala. Ngapain juga orang itu masih betah di sini. Pulang gih sono. Batin aja sih nggak enak diungkapin.
“Mau tidur di sofa sambil nonton tv boleh nggak, mom?”
“Iya. Tapi nanti momi pindahin ke kamar ya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Soulmate (End) ✔
Ficción General"Cantik!" Ucapnya tiba-tiba. Darahku berdesir kencang. Belum sempat menstabilkannya tangannya sudah menyentuh pipiku mengelus lembut menggidikkan bulu kuduk. Apa ini? Merasa aneh dengan ketidakwajarannya. Bukan rasa senang mendapatkan pujian darin...