15. Move on, Aradiya

5.3K 217 0
                                    

"Dingin...!"

Rasanya aku berada di tengah-tengah salju yang melingkupi diriku hingga tubuhku berasa menggigil. Perasaan aku tidak pergi ke mana-mana, bagaimana bisa berada di puncak Jaya Wijaya. Seingatku, aku cuma berbaring saja di dalam kamar bermalas-malasan sejak seminggu yang lalu. Benar, kehilangan Raffa membuatku merasa enggan melakukan apa-apa. Tak ada kekuatan, tak bersemangat, tak nafsu makan, badan terasa lemas semua.

Mungkinkah AC dalam ruangan ini berada di suhu terendah sehingga aku kedinginan. Tetapi kenapa suhu tubuhku naik dan aku kepanasan. Ku hela selimut untuk menutupi seluruh tubuh, pun tak ada pengaruh apa-apa. Ya, aku demam.

"Haus..."

Tenggorokanku rasanya kering. Ingin sekali minum tapi tak ada air di sini. Adakah orang di luar? Biasanya Rean menjagaku di dalam kamar kenapa malam ini tidak. Apa dia marah lantaran aku membuang makanan sore tadi. Ah, aku bisa mati kehausan andaikan tak ku paksa badan untuk mengambil minuman.
Beringsut bangun dari tempat tidur menyeret selimut untuk menutupi seluruh tubuh aku berjalan terhuyung-huyung menuju pintu keluar. Baru juga melewati pintu, kepala sudah berputar-putar seolah-olah bumi ini guncang. Apa iya ada gempa? Aku berhenti sebentar memegangi kepala tak ku hiraukan selimut yang lepas di tangan. Rasa haus memaksaku untuk terus berjalan sampai mendapatkan minuman meski tubuhku gemetaran. Aku menyerah. Sudah tak sanggup lagi melangkah menahan dingin yang merasuk tulang. Tubuhku oleng, jatuh, namun entah dari mana tiba-tiba ada seseorang yang datang menangkap tubuhku.

"Sedang apa?" teriaknya padaku dengan wajah kesalnya.

"Haus..." wajahku memerah ingin menangis. Entah kenapa aku jadi kayak anak kecil yang manja.

"Kenapa nggak bilang? Lancang, gimana kalau kamu jatuh dan aku nggak melihatnya?" Rean memarahi aku.

Menelungkupkan wajah di lengannya tangisku menjadi.

"Ya ampun Aradiya... badanmu panas sekali."

Rean mengangkat tubuku. Menggendongku kembali ke kamar lantas membaringkan aku di kasur.

"Mana selimutmu?"

Aku menunjuk ke luar.

"Ya sudah."

Rean mengambil selimut baru di dalam lemari dan menutupkan ke seluruh tubuhku hingga sebatas leher.

"Sebentar ku ambilkan minum untukmu."

Mematikan AC menggantinya dengan penghangat ruangan Rean pergi mengambilkan aku minuman. Tidak lama kembali membantuku minum lalu pergi lagi dan datang membawakan aku peralatan untuk mengompres. Rean mengompres keningku secara bertahap sampai suhu tubuhku menurun.

#


Kurang ajar!

Orang lagi enak-enak tidur main buka-buka gorden aja. Kan silau jadinya terbangun. Sengaja mengganggu tidurku, nggak suka ngeliat aku tidur-tiduran mulu. Ini lagi menghidupkan tv, apa maksudnya coba?

Beranjak bangun mencari remote tv, ingin ku matikan namun tayangannya membuatku gagal melakukan.

"Kak Radiya, kembali syuting dong."

"Kami kangen sama kakak."

"Don't be sad, kak."

"We will always faithfull with you."

"Kami semua sayang kakak..."

Ku alihkan pandanganku pada orang yang sedang berbicara sambil berjalan menghampiriku.

"Banyak orang yang menantimu di luar sana, tidak mengingat mereka? Fans yang selalu setia bersamamu. Coba tengok ponselmu, kapan terakhir kali membuka akun media sosial sampai mereka membuat video se-viral itu untuk menyemangati dirimu? Para penggemarmu pasti sangat merindukanmu sampai bosan aku di tanya-tanya mereka terus."

Aku terdiam, memikirkan sesuatu. Memang sangat merindukan mereka tetapi rasa rinduku terhadap Raffa mengalahkan segalanya. Bagaimana bisa memikirkan orang lain saat anak sendiri tidak tahu di mana keberadaannya.

"Sedang tidak berfikir ke sana!" Aku mematikan tv.

"Jangan egois."

"Lalu aku harus bagaimana? Berpura-pura baik-baik saja di hadapan kamera meskipun rasanya sesak di dada? Itu namanya kejam terhadap diri sendiri."

Meninggalkan Rean aku memasuki kamar mandi membasuh wajahku.

"Bukankah hidupmu memang penuh dengan drama? Lakukanlah sama seperti yang kamu lakukan dulu terhadapku."

Damn, Rean! Kenapa bawa-bawa masa lalu segala.

Berlari keluar dari dalam kamar mandi, ku bentak Rean yang lagi membereskan tempat tidurku, "Rean!"

Orang itu tercenung menatapku.

"Kau fikir aku tidak tahu. Menyembunyikan kesedihanmu selama beberapa tahun berpura-pura tersenyum di hadapanku seolah-olah hidup bahagia bersama Zein, itu sebabnya terus menghindariku. Tak sanggup memberi tahuku. Lalu kenapa tak bisa melakukannya pada fansmu?"

"Keterlaluan!"

Ku hampiri dia menarik kerah bajunya.

"Lakukan, jika bisa menghapus semua kemarahamu. Lampiaskan padaku."

Aku menamparnya. Menarik-narik kerah bajunya lantas memukuli dadanya. Orang itu tetap diam mematung. Anggap saja samsak yang tergantung sebab tak ada perlawanan sama sekali darinya. Apa pukulanku ini kurang mengena sehingga tidak menimbulkan efek apa-apa di otot dadanya yang kekar.

"Cukup," Rean menangkup kedua tanganku, memelukku, "Sakit Ra, kutahu tak sebanding dengan rasa sakit di hatimu."

Tangisku menggelegar. Rean mengeratkan pelukkannya di tubuhku seraya mengusap-usap rambutku.

#

"Agak mendingan?"

Tanya mas Doni begitu aku menaruh teh di atas meja di hadapannya.

"Iya, mas." Aku duduk menaruh penampan di pangkuanku. Ingin ikut ngobrol maksudnya. Mendengarkan apa yang akan mas Doni dan Restu bicarakan.

Ponsel Restu berbunyi. Ku lihat Restu mengambil smartphone dari dalam saku celana jinsnya. Memeriksa nama yang tertera di layar gadgetnya Restu malah memberikannya pada mas Doni.

"Siapa?" tanya mas Doni saat Restu menempelkan ponsel ke telinganya. Sudah terlanjur menyambung ku dengar mas Doni berbicara dengan seorang yang sebenarnya ingin menghubungi Restu.

Enggak tahu, emangnya siapa sih yang menelepon. Kog Restu nggak mau mengangkatnya malah diserahkan ke mas Doni.

"Maafkan kami, sementara waktu tidak menerima job buat Aradiya..."

Oh, aku? Jadi itu panggilan untukku. Job untuk apa, ya?

"Iya, baru sembuh soalnya."

"Job apa ya, mas?" tanyaku menyela percakapan mas Doni dengan seseorang di telepon.

"Sebentar," mas Doni menutup speaker ponsel, mengatakan sesuatu padaku, "Acara talk show yang lagi buming itu, kamu mau mengambilnya?"

Aku mengangguk.

"Bagus," mas Doni kembali menempelkan ponsel ke telinganya, "Katanya mau diambil sama Aradiya. Baik, iya. Terima kasih."

Mas Doni mengembalikan ponsel Restu lalu merangkulku, "Nah, gitu dong. Mau sampai kapan kamu berdiam diri di dalam kamar terus."

Melepas rangkumannya padaku, mas Doni mengusap punggungku lalu menyeruput teh yang ku bawakan tadi.

"Bagus, Ra," Restu menepuk pundakku.

Aku tersenyum. Ku alihkan pandanganku pada seseorang yang baru saja keluar dari dalam kamar kecil yang ada di sudut ruang tamu. Orang itu tersenyum memandangiku.

#

Perhaps Soulmate (End) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang