"Sebentar."
Aku meninggalkan meja tempat kami berdiskusi mengenai film baru yang bakal aku mainkan, saat alunan musik klasik yang menjadi nada dering ponselku berbunyi mengganggu jalannnya diskusi. Sebelum Doni memelototi, sebaiknya aku kabur lebih dulu. Kurogoh ponsel melangkahkan kaki sembari menilik siapa orang yang menghubungiku. Ternyata mama. Mama aku, bukan mamanya Zein.
"Iya, ma?"
Aku sudah melewati pintu ruangan Doni saat menerima panggilan dari mama.
"Mama sedang di jalan mau ke rumah kamu, kangen sama cucu kesayangan. Dia ada di sana, kan?" suara mama yang kudengar di telepon.
Aduh. Mama datangnya terlambat sih. Seminggu lalu Raffa sudah bersamaku dan minggu ini giliran Zein.
"Raffa masih sekolah, ma. Tapi nanti dadinya yang ngejemput dia."
"Oh, di rumah dadinya, ya?" nada suara mama merendah. Beliau mungkin kecewa.
"Iya. Nggak pa-pa mah, nanti aku bilang ke Zein supaya menjemput Raffa di rumahku saja. Mama, sama papa datang ke sininya?"
"Papamu lagi sibuk di bengkel. Malah suruh mama bawa Raffa ke sana, katanya mau diajarin biar jadi insinyur mesin."
"Zein maunya Raffa jadi pilot ma, bukan yang bikin pesawatnya."
"Nggak tahu tuh, papamu."
"Ya udah, ntar kita maen ke sana aja sama Raffa."
"Iya. Kamu lagi di mana ini. Mama langsung ke rumah atau jemput Raffa di sekolahnya?"
"Raffa masih lama pulangnya, Ma. Mama langsung ke rumah aja ada Bude di rumah. Ntar Raffa biar aku yang jemput sekalian pulang."
"Oh, ya sudah. Mama tunggu kamu di rumah."
"Iya." Mama memutus sambungan.
Resepsi pernikahan Zein kemarin agaknya menjadi ajang untuk saling memaafkan. Anggap saja lebaran. Semua keluarga, saudara, berkumpul jadi satu saling mengobrol sekaligus menjernihkan kesalahpahaman. Itu sebabnya, aku dan mama sudah baikan. Mama jadi sering datang ke rumah buat menengok cucunya.
Aku sudah mengirim chat ke Zein tidak langsung dibaca. Menghubunginya lewat WA, juga tidak diangkat. Barangkali ada kendala. Coba kalau menelepon langsung ke nomornya. Bukanya tersambung, malah menyambung ke operatornya, memberitahu kalau ternyata pulsaku sudah habis. Wkakak. Ya, sejak menjamurnya aplikasi social media yang dihubungkan dengan internet, aku jadi jarang menyetok pulsa. Mending buat beli kuota, lebih hemat dan bisa digunakan untuk segala kebutuhan. Tapi kalau ada urusan mendesak begini, nih, yang susah. Harus transfer dulu. Mudah memang, tapi kelamaan.
"Tante Radiya masih di sini? Kirain udah pulang." Suara Vinny yang baru keluar dari dalam ruangan Doni.
Vinny juga ikut bergabung dalam film yang lagi dibahas di dalam. Ini pertama kalinya aku dan Vinny akan berperan dalam satu film bersama.
"Hem. Udah selesai bahasnya, Vinn?" mengatakan itu tidak menoleh Vinny. Bukannya apa-apa. Lagi menekuri layar ponsel nih, dari tadi transfer kok nggak berhasil-berhasil, ya. Ada gangguan atau apa. Masa iya saldo rekeningku tidak mencukupi cuma buat beli pulsa seratus ribu doang.
"Iya, udah. Aku pulang dulu ya, tan."
"Eeh, tunggu Vinny!"
Meminta tolong Vinny tidak jadi masalah, kan. Untung ada dia di sini.
"Ada pulsa nggak, Vin?" tanyaku menengok Vinny. Baru melihat orangnya pas butuh aja. Dasar aku.
"Ada, tan. Mau menelpon siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Soulmate (End) ✔
General Fiction"Cantik!" Ucapnya tiba-tiba. Darahku berdesir kencang. Belum sempat menstabilkannya tangannya sudah menyentuh pipiku mengelus lembut menggidikkan bulu kuduk. Apa ini? Merasa aneh dengan ketidakwajarannya. Bukan rasa senang mendapatkan pujian darin...