Dengan muka pucet, mata sepet serta bau mulut yang nggak sedep aku membuka pintu rumah begitu bel berbunyi berisik mengganggu tidur nyenyakku. Palingan cuma Restu atau Doni yang semalam aku hubungi meminta mereka datang membawakan aku uang. Sungguh aku nggak bawa apa-apa ke sini kecuali mobil yang entah bensinnya masih ada atau tidak dan ponsel ketinggalan chargernya.Semalam karena terpaksa aku meminjam charger Rean untuk menghubungi orang-orang yang aku butuhkan, termasuk kak Balqis menanyakan keadaan Raffa. Ini saja aku belum bayar sewa rumahnya, mungkin Rean menalangi duluan. Mana mungkin belum bayar sewa, setidaknya uang muka, rumah ini sudah bisa aku tempati. Meskipun tidak mengatakannya, aku tahu Rean pasti melakukan. Lagi lagi karena terpaksa, aku menerima bantuan darinya
"Baru bangun?" tanya seseorang di depanku bukan seperti suara Restu maupun Doni. Ku paksa mataku terbuka lebar rupanya Rean yang berhadapan denganku. Sempat panik mengingat kondisiku yang berantakan namun ku abaikan lantaran Rean bukanlah seseorang yang harus kuhadapi dengan sopan.
Mengalihkan tatapanku dari wajah Rean pada sesuatu yang dibawanya, aku mengangkat kedua alisku, "Apa itu?"
"Nasi goreng." Jawabnya. Berlagak tidak mengerti apa yang ku maksudkan.
"Aku membuatnya kebanyakan mubazir bila dibuang makanya aku bawa kemari."
Tanpa meminta izin terlebih dahulu Rean menyelonong masuk ke dalam rumahku menaruh makanannya di atas meja seraya berucap sesuatu, "Aku akan berterima kasih sekali jika kau menghargai masakanku. Makan ya!"
Melenggang pergi setelah mengatakan itu Rean menoleh ke belakang lagi, "Oh ya, kau mau mandi? Aku bisa pinjamkan pakaian untukmu."
Apa??
Wah, kebangetan nih orang. Maksudnya apa menawari aku begitu. Dikira aku senang apa ditawari olehnya. Meminjami aku bajunya? No! Sudah hilang akal dia.
"Tidak perlu, makasih."
Lebih baik tidak mandi daripada harus meminjam pakaiannya.
"Baiklah, selamat menikmati." Mengatakan itu Rean lalu pergi. Aku segera menutup pintunya.
Memakannya tidak? Makan tidak ya?
Kupelototi seonggok nasi goreng beraroma lezat made in Rean yang ku tahu masakannya memang dari dulu enak. Ups! Dulu lagi. Tuh kan, Rean maah. Membuka restoran di Jogja sepertinya memang cocok buat Rean karena hobinya sejak kecil memasak. Jogja itu adalah kota kelahirannya dan sudah menjadi cita-citanya ingin punya kuliner di sana. Sudah ah bahas Reannya. Gimana ya, perut laper pada unjuk gigi gini, masa mau nganggurin makanan gitu aja. Santap!
"Heg!" aku bersendawa.
"Maaf, Rad, jalanan macet!"
Restu datang tepat saat aku telah menghabiskan nasi goreng pemberian Rean. Menaruh barang bawaannya di meja akan mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong plastik Restu terkejut melihat ada sebuah piring kotor tergeletak pasrah di sana lalu membelokkan tatapannya padaku.
"Sudah makan, Rad?" Restu menghentikan kedua tangannya yang sedang membuka box nasi menatapku heran.
"Bisa kelaparan aku, Tu, menunggumu membawa makanan sejak semalam." Aku beranjak dari dudukku di bawah berpindah ke atas sofa.
Paling enak makan berjengkeng di lantai. Baru setelahnya duduk di sofa memeluk bantal berleha-leha sembari menonton TV ditemani camilan. Restu membawakan aku camilan tidak ya?
"Tu..."
Restu menginterusi perkataanku, "Dari mana?" Tanyanya. Membuka kotak nasi padang Restu malah duduk memakannya sendiri. Dasar Restu!
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Soulmate (End) ✔
Ficción General"Cantik!" Ucapnya tiba-tiba. Darahku berdesir kencang. Belum sempat menstabilkannya tangannya sudah menyentuh pipiku mengelus lembut menggidikkan bulu kuduk. Apa ini? Merasa aneh dengan ketidakwajarannya. Bukan rasa senang mendapatkan pujian darin...