“Wow!”
Mata melebar mulut sampai menganga melihat abs sempurna yang dimiliki oleh pemeran utama pria dalam film laga premiere yang sedang kusaksikan di bioskop ini. Pasti produser memaksanya berolah raga keras sebelum memulai proses syuting hingga menghasilkan otot perut six pack membikin penonton teriak-teriak terutama wanita. Baru juga filmnya dimulai sudah menampilkan scene panas. Eits, pikirannya tolong dikondisikan ya.
Itu hanya adegan olah raga aktor utamanya saja, sendirian. Kebanyakan film action sering kali memamerkan bentuk tubuh atletis para pemainnya, kan. Nah ini yang sedang kami saksikan sekarang. Mengusik ketenangan jiwa tahu nggak. Yang seperti ini justru menambah nilai tersendiri buat filmnya. Tidak akan menarik jika film laga pemeran utamanya cungkring atau kebalikannya, gembrot. Mungkin kalau pemeran pembantu nggak masalah.
Pantes dia maksa banget ngajakin aku nonton, rupanya pingin pamer. Capek deh. Menjeling ke samping, Rean lagi narsis benah-benahin rambut sama baju kemejanya. Dih, dia mengerling. Dikira aku bakal kepincut apa ya.
“Ya ampun!” pekikku syok terapi melihat adegan romantisnya Rean dan Moudy yang kebangetan menjurus ke dewasa.
Si Rean malah ketawa. Adegan seperti itu menurut lo lucu? Aku aja yang ngeliat nyer-nyeran. Malu mau mantengin, mending tutup mata sebelah ajah. Eeh?
“Napa Rad? Itu cuma kiss scene biasa. Kayak nggak pernah aja.”
“Nggak pernah sama sekali.”
“Lah yang dulu di Bali itu, waktu scene berenang siapa yang matok duluan?”
“Rean!” membungkam mulutnya aku memelototi Rean.
“Tapi kan nggak seekstrem itu. Tidak dikategorikan dalam adegan berbahaya. Lagi pula itu terpaksa, tuntutan skenario. Kalo bisa nawar, ogah gua ngelakuinnya.”
Lirikan mata dan suara nasal Rean memberi isyarat supaya aku cepat-cepat melepaskan bungkaman tanganku dari mulutnya.
“Sori.” Aku mengurai tangan.
Rean sampai termengah-mengah kehabisan nafas. Lari berapa kilo meter mas? Hihi.
“Coba kalau kamu bisa seekstrem Moudy. Aku lebih milih adegan ekstremnya sama kamu aja,”
“Nggak sudi,” aku memalingkan wajah, “Nggak lucu tau, Rean.” Kembali menengoknya.
“Ya habis kamu berlebihan. Ini film action, bukan film blu_r twenty plus-plus. Film ini sudah lulus sensor dan aman buat ditonton. Memang ada keterangan “Dewasa” karena banyak adegan perkelahian yang membahayakan. Nggak semua film yang dicap dari 18+ itu masuk dalam kelompok film ekstrem yang kamu maksud ya, Rad? Lagian film ini cuma ada satu adegan itu aja yang menurut kamu cukup, “Ekstrem”, padahal sih belum seberapa.”
“Jadi, ada yang lebih seberapa di banding film ini, pernah kamu mainin?” menolehnya, kubentak Rean sampai nggak nyadar lagi ada di mana.
Toleh kanan-kiri, rupanya suara lantangku tidak cukup mampu mengalihkan perhatian orang-orang yang sedang serius menatapi layar lebar di depan. Oh pantes, orang adegannya masih berlangsung. Lama kali rupanya. Kalau di layar saja durasinya panjang banget apa lagi pas syutingnya. Bayangin! Aku menduga adegan ini paling berkesan bagi Rean selama proses syuting.
“Bisa dipercepat nggak, ya?” mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan mencari pegawai bioskopnya malah menemukan wajah Rean di hadapanku.
Rean terkekeh-kekeh mengamati wajahku.
“Apa?” tanyaku menarik wajah menjauh dari hadapannya.
“Cemburu, ya?” tanyanya. Ujung jari telunjuknya mengarah ke wajahku, ditambah raut wajahnya yang menyebalkan. Hih, geregetan pengen nampol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Soulmate (End) ✔
General Fiction"Cantik!" Ucapnya tiba-tiba. Darahku berdesir kencang. Belum sempat menstabilkannya tangannya sudah menyentuh pipiku mengelus lembut menggidikkan bulu kuduk. Apa ini? Merasa aneh dengan ketidakwajarannya. Bukan rasa senang mendapatkan pujian darin...