Setelah mengantar Raffa ke sekolahnya aku langsung pergi ke kantor manajemen. Belum juga melewati gerbang, aku sudah dihadang oleh beberapa orang wartawan. Celaka! Aku fikir mereka sudah bosan menungguku di kantor manajemen, makanya lewat jalur depan. Ternyata aku salah. Harusnya tadi memberitahu Restu atau Doni terlebih dahulu supaya tidak membuat kesalahan fatal. Mereka pasti akan memarahiku nanti.
“Mba Radiya… mba minta penjelasannya! Gimana sebenarnya kejadian di Jogja itu? Benar mba Radiya sengaja menemui mas Rean?”
“Aradiya... benar Rean yang memintamu ke sana?”
“Mba keluar dong...!”
“Kalau menghindar tidak menyelesaikan masalah loh!”
“Mas Rean aja berani menghadapi wartawan dan bicara di depan kamera mba Radiya malah ngumpet.”
“Kita nggak gigit mba cuma mau bertanya aja.”
“Kalau mba jujur masalah mba bisa kelar loh...”
Jujur? Apa kalian akan percaya. Beraninya mengancamku. Dikira aku takut sama kalian apa. Bukannya menghindar karena merasa bersalah, masalahnya berita yang akan kalian sebar nanti malah bisa memperburuk keadaanku. Menyelesaikan masalah apa, menambah masalah mah iya. Dasar kalian para wartawan!
Keluar tidak ya? Ah ngapain keluar yang ada mereka menyerbuku bisa babak belur tubuhku yang bagus mulus ini. Telepon Doni ah minta bodyguard menyelamatkan aku.
“Halo...”
Belum apa-apa Doni sudah menyemburku!
“Siapa yang menyuruhmu ke sini, ngapain lewat depan, sudah bosen hidup ya? Pengen masalahmu nggak kelar-kelar makanya bikin ulah lagi. Bunuh diri aja sekalian! Emang yang pusing cuma lo doang Ra, kita semua pusing di sini. Jangan sampai keluar dari dalam mobil atau aku akan menembakmu dari sini. Diam di situ, aku sedang ke sana sekarang. Tunggu bodyguard menyelamatkanmu.”
Menembakku! Kenapa banyak sekali orang yang ingin menghabisi nyawaku yang amat berharga ini. Meskipun ucapan Doni kasar dan kedengaran menyeramkan tetapi aku tidak merasa ketakutan. Berbeda kalau Zein yang mengatakannya. Ucapannya mungkin tidak sekasar Doni tetapi HOROR. Aku nggak mau mati sia-sia di tangannya. Bayang-bayang dia mencekik leherku semalam itu rasa sakitnya masih terasa hingga sekarang. Pokoknya jangan sampai terulang lagi.
Doni datang beserta para ajudannya menyelamatkan diriku. Kutinggal dia sendirian menghandle para wartawan sedangkan aku memasuki gedung agensi bersembunyi di dalam ruangan Doni. Tidak lama Restu dan Tias menghampiri. Kami bertiga membicarakan sesuatu hingga Doni kembali pun masih melanjutkan pembicaraan. Pembicaraan apa? Ya masalahku lah, sedang viral di dunia nyata maupun gaib, maya maksudnya.
Pukul 4 sore aku kembali ke rumah. Membunyikan klakson mobil tak digubris pak satpam aku terpaksa turun dari mobil menghampiri singgasananya.
“Pak, pak Andi... tolong buka gerbangnya, pak!” teriakku pada pak Andi, satpam keluarga kami yang duduk di ruangannya malah memandangi aku kayak orang bingung.
Belum sempat pak Andi berbicara, suara seseorang dari kejauhan menghentikan pak Andi yang baru membuka mulutnya.
“Jangan dibukakan pak, biarkan saja!”
Teriak Zein berdiri tegap di depan pintu memfokuskan tatapannya ke arahku seraya berkacak pinggang.Orang itu sudah pulang saja. Pantas pintu gerbang yang biasanya selalu terbuka lebar kali ini tertutup rapat. Ternyata dia yang melakukannya. Memilih pulang jam 4 sore kufikir Zein belum pulang, ternyata aku keduluan. Memutar otak! Dari pada memandangi Zein membuatku tambah kesal melihat ekspresinya yang menyebalkan itu sebaiknya aku kembali ke kantor saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Soulmate (End) ✔
Fiksi Umum"Cantik!" Ucapnya tiba-tiba. Darahku berdesir kencang. Belum sempat menstabilkannya tangannya sudah menyentuh pipiku mengelus lembut menggidikkan bulu kuduk. Apa ini? Merasa aneh dengan ketidakwajarannya. Bukan rasa senang mendapatkan pujian darin...