2-Skenario bermula

43 2 3
                                    

~"Tuhan memiliki skenario sendiri untuk mempertemukan kita kembali, Laura."~

**
~Surabaya

Pengumuman SNMPTN sudah tertempel jelas di mading.

Bian sedari tadi berdiri berhadapan langsung dengan papan yang ditutupi oleh kaca, mading. Mungkin sejak lima menit yang lalu ia disana. Sebelum melihat beberapa kertas yang tertempel, Bian menarik napas lalu menutup mata sebentar, dalam keheningan ia berdoa kepada Tuhan.

'Tuhan berikan yang terbaik.'

Setelah itu, ia membuka mata sedikit demi sedikit. Dengan sangat teliti ia pandangi setiap barisan kata yang tertulis di beberapa lembar kertas, mencari dimana tertulis namanya.

Arkana Fabian. Persis di baris ke sepuluh kertas pertama namanya tertera.

Arkana Fabian. Universitas Airlangga. Pendidikan Dokter.

Bibir Bian tertarik perlahan membentuk seulas senyum kebahagiaan.

"Thanks God," gumam Bian.

Sedetik kemudian, langkah-langkah kaki terdengar mendekat menuju mading, membentuk kerumunan hingga menggeser posisi Bian yang berdiri di depan menjadi agak ke belakang. Lalu melakukan ritual yang sama dengan Bian, namun lebih heboh. Semua tergambar jelas di mata Bian yang bertubuh jangkung, ia bisa melihat semua ekspresi itu. Ada yang bersorak kegirangan saat mendapati namanya tertera di mading, ada yang bersujud syukur di lantai, ada juga yang bersedih hati dengan menitikkan air mata saat tidak mendapati namanya disana.

Bian menghela napas, Huffft.

Lelaki itu kemudian mulai berjalan pergi menjauh dari kerumunan. Tujuannya adalah perpustakaan, disana ia akan mengembalikan beberapa buku yang pernah ia pinjam sebelum ujian nasional berlangsung. Belum sepuluh langkah ia berjalan, dering ponselnya berbunyi dari balik saku celana. Di layar tertera nama 'My Bro', segera digesernya layar untuk menerima panggilan.

"Kak Vano?"

Orang diseberang telepon berdehem, "Gimana? LULUS?"

"Hmmm... menurut lo gimana, Kak?"
Bian terkekeh, di dalam hatinya ia sangat bersyukur kak Vano masih sempat menanyakan tentang kelulusan dirinya. Dengan segala kesibukan yang dijalani, ternyata Vano masih menyempatkan waktu untuk menghubungi adik laki-lakinya, dibandingkan mama dan papa yang bahkan jarang menanyakan kabar walaupun berada di dalam satu kawasan yang sama.

Vano terdiam sebentar. Lalu hembusan napas lega terdengar samar. "You always do the best, Bro. Congrats!"

"Thanks, Kak. Lo kapan balik?"

"Entah, gue..." perkataan Vano terhenti saat seseorang menepuk pundaknya. Vano menjauhkan ponsel, berbicara sebentar pada seorang pria paruh baya memanggilnya.

"Siap, sebentar Pak!" kata Vano membuat pria paruh baya itu mengangguk dan menjauh pergi.

Bian mengerutkan kening heran, baru ia sadar bahwa sang kakak sedang berbicara dengan orang lain disana bukan dengan dirinya.

Vano kembali mendekatkan ponsel ke telinga, "Sorry, Ian. Tadi Pak Asno manggil gue buat lanjutin kerjaan. Semoga bulan depan kita bisa ketemu ya. Good luck my little Bro."

Bian tersadar dari lamunan ketika mendengar suara kakaknya kembali. "No problem, Kak. Good luck buat projek barunya. Bye."

"Bye..."

'TILLWhere stories live. Discover now