Part 11 Update...
Langsung baca, vote, and comment ya!***
8 tahun sebelumnya
Bian, Ari dan Karen-geng pem-bully sekolah menyiapkan rencana untuk mengerjai Laura setelah keluar dari ruang Kepala Sekolah. Bian yang selama 1 minggu lalu tengah berlibur ke Jakarta bersama keluarganya, merasa kesepian karena tidak mendengar teriakan Laura saat ia bully. Alasan Bian mem-bully Laura adalah sejak kedatangan gadis itu ke kelasnya 3 tahun yang lalu, membuat peringkat juara kelas beralih tangan dari Bian ke Laura. Apalagi Laura satu-satunya siswa yang berani menentang perintahnya, makin kesal Bian dengan sikap gadis itu. Bian dan gengnya-si kembar Ari dan Karen merencanakan semua taktik supaya Laura pindah ke kelas lain. Namun, semakin cerdik taktik Bian semakin cerdik pula siasat Laura menghindari semua jebakan Bian.
"Ian, kamu yakin menumpahkan air itu ke Laura?" tanya Ari meyakinkan Bian yang telah menunggu di balik tembok pembatas antara ruang guru dan kepala sekolah, sekali lagi. Entah datang dari mana sampai ide gila itu keluar dari bibir Laura.
Bian menoleh ke belakang menghadap Ari, "Tenang aja bro. Kali ini kita bakalan berhasil. Karen aja nggak bawel tuh." Ujarnya sembari menunjuk ke arah Karen-kembaran Ari.
Ari menghela napas, "Terserah kamu saja, Ian." Sebenarnya ia sangat kesal melihat ulah Bian saat ini. Bian sudah kelewatan batas hingga merencanakan agar air bekas tadah hujan yang dikumpulkannya sejak kemarin akan ditumpahkan pada Laura. Bian... Bian... Ada-ada saja idenya untuk menjahili gadis pintar itu.
Menit waktu berganti. Gemuruh di dada Bian sudah tidak sabar menyaksikan pertunjukkan yang ia nantikan. Namun, ada sedikit keraguan juga yang mencuat, apa rencananya kali ini akan berhasil atau malah gagal seperti biasa. Pokoknya harus dicoba dulu, jangan sampai tidak.
Beberapa menit kemudian, seorang gadis kecil keluar dari ruang kepala sekolah dengan membawa sebuah prakarya berbentuk Rumah Joglo khas Yogyakarta. Laura berjalan santai, bibirnya terus mengembangkan senyum lebar bahagia prakarya yang telah ia rangkai dari puluhan stik es krim selama 1 minggu penuh disukai oleh Kepala Sekolah. Prakarya itu diikutkan lomba daur ulang sampah tingkat Kota Surabaya. Bahannya sendiri dikumpulkan Laura selama 1 bulan dari sisa stik es krim yang ia makan.
"Siap-siap" bisik Bian kepada Ari dan Karen ketika melihat Laura. Sang target mendekat ke arah sasaran.
Tangan Bian membentuk angka, memberi aba-aba
1....
2....
3....
Byur...
Bertepatan dengan sepatu Laura yang menginjak tanda silang yang telah dipersiapkan Bian, sebuah ember berisi air membalik ke arah bawah. Tumpahan air itu membuat tubuh Laura basah kuyup dan hasil prakarya kebanggaannya rusak berantakan.
Laura terhenyak kaget, kemudian berteriak keras mendapati Bian di balik tembok tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Biannn..." mata Laura melotot tajam ke arah Bian yang tengah tertawa terpingkal-pingkal. Gadis itu tidak menyangka Bian tega merusak prakarya yang sudah susah payah ia buat. Napasnya mulai tidak beraturan. Denyut nadinya melaju cepat. Hawa panas membakar seluruh tubuh sampai kepala. Marah, kesal, jengkel, bercampur dari satu dalam kepalanya yang dilampiaskan oleh kepalan tangan kanan yang menguat, keras. Tidak bisa dibohongi kalau mata Laura juga mulai memerah menyadari kacau kondisinya sekarang. Tanpa bisa dicegah, sedikit demi sedikit air mata turun membasahi pipi. Untuk pertama kali semenjak bertemu dengan Bian, akhirnya Laura menangis. Tak kuasa menahan banjir air mata, Laura pun langsung berbalik badan, lantas melangkah cepat meninggalkan Bian dan teman-temannya. Ketiganya kontan terdiam, senyap.
'Laura menangis?' Jelas bukan akhir yang dipikirkan Bian ketika terpikir tentang ide itu. Tidak sampai membuat rivalnya itu meneteskan air mata. Ia hanya ingin mendengar teriakan dan umpatan dari Laura sebagai pelampiasan atas kekesalan yang ia rasakan. Sebab makian Laura-lah yang ia rindukan. Bukan sebuah tangisan, sedu-sedan.
Kepala sekolah yang mendengar teriakan Laura langsung keluar dari ruangan, lalu mencegah gadis itu berjalan lebih jauh.
Laura berhenti sejenak persis di depan Bu Darwis. Kemudian ia menyerahkan hasil prakaryanya yang telah rusak, padahal baru lima menit lalu mendapat pujian. "Maafkan saya, Bu." Katanya diselingi isakan.
Bu Darwis memandang heran, lantas mengambil jua prakarya rusak itu. Setelah tidak bisa lagi berlama-lama menumpahkan air mata, gadis itu lantas berlari meninggalkan keempatnya, keluar dari kawasan sekolah.
Bu Darwis menyipitkan mata ke arah Bian, Ari dan Karen yang telah keluar dari tempat persembunyian. Tatapan kesal ditambah gelengan heran ditangkap ketiganya sebagai pertanda bahaya. Bahaya, peringatan jika ketiganya akan mendapat balasan kali ini, melebihi sekedar teriakan.
Tiga pem-bully itu diganjar hukuman berat selama 3 hari yakni harus membersihkan seluruh toilet siswa dan wajib membetulkan kembali hasil prakarya Laura yang hancur berantakan. Mau tidak mau, suka tak suka ketiganya menjalankan hukuman dengan apa-adanya. Walaupun sempat saling menyalahkan, toh nasi telah menjadi bubur, kejadian tidak bisa diulang, kan?
Rasa bersalah Bian pun juga muncul. Kali ini bukan hanya sekedar ucapan, melainkan tulus dari dasar hatinya. Ia menyesal. Ia mengaku salah telah mengerjai Laura. Ia hanya ingin bersenang-senang, tapi malah kelewatan.
Sejak hari itu, Laura tidak pernah muncul lagi di sekolah, bahkan ia tidak keluar rumah selama 7 hari berturut-turut, menurut perhitungan Bian. Hingga di hari ketujuh, Bian berani bertanya pada Mama kemana Laura sampai tidak kelihatan keluar dari rumah.
"Tante Mira sudah pindah tadi pagi kembali ke daerah asalnya, Ian." Kata Mama saat sedang memasak di suatu siang.
Bian sontak terpaku mendengar kalimat mamanya barusan. Pindah. Kembali ke kota asal. Apakah semua itu karena dirinya? Karena perbuatannya yang membuat Laura menangis tersedu?
Bian semakin yakin jika kelakuannya lah yang menyebabkan Laura pindah dari Surabaya. Tidak ada lagi rival untuknya, juga tidak ada teman untuk kakaknya. Dua orang merasa kehilangan sekaligus karena seorang Laura Hanna. Walaupun di satu sisi, perhatian Vano tidak lagi terbagi. Namun ia menyadari bahwa sikap Vano mulai berubah semenjak Laura menghilang begitu saja, tanpa pamit juga dari teman-temannya. Sekarang, Vano lebih menyendiri, lebih menyibukkan diri dengan tugas sekolahnya.
Jarang sekali Bian melihat Vano bermain sepeda di luar rumah, atau sekedar membeli jajanan di warung Pak Jah depan komplek, seperti yang sering ia lakukan bersama Laura tanpa melewatkan hari. Meskipun begitu, Vano masih tetap mau bermain mobil-mobilan dan mengajarinya pelajaran di sekolah. Tetapi, lebih sering terlihat diam dan mengurung diri di kamar. Sebegitu pentingkah Laura bagi Vano, sampai membuat bocah lelaki itu kehilangan semangat untuk menjalani hari, sekedar mengulaskan senyum lebar dari bibirnya?
Kalau bisa waktu diulang, Bian tidak akan menjalankan rencana itu jika tau akhirnya jadi begini. Penyesalan memang selalu datang di belakang, kan? Tak ada yang bisa mengetahuinya sebelum hari itu datang. Takdir memang selalu menjadi misteri, tiada seorang pun mengetahui dengan pasti.
Semenjak hari itu, ketika tiada lagi warna yang mengisi hidup masa kecilnya, Bian pun berjanji jika suatu saat bertemu lagi dengan Laura, ia akan meminta maaf atas perbuatannya di masa lalu. Ia juga bertekad, jika kembali bertemu dengan Laura dan gadis itu memaafkan perbuatannya di masa lalu, tidak akan ia biarkan barang setetes air mata pun lolos dari kelopak matanya. Janji. Bian berjanji pada Vano, semesta, dan Tuhan yang Kuasa.
-- to be continued
💖💖💖
Don't forget to read, vote, and comment all story in this account...
Enjoy your life, enjoy your day, and always be a better person, day by day.
Thank you and Bye-Bye...🙋🙋🙋
Sabtu, 22 Agustus 2020
Tianaqila's story
YOU ARE READING
'TILL
Romance"PROMISE NEVER LEAVE YOU" ♡♡ Sebuah kisah tentang empat orang yang ditakdirkan untuk bertemu di Surabaya. Disaat penantian, cita-cita, dan kebodohan masa lalu berbuah manis menjadi 'C.i.n.t.a'. Rasa cinta yang hadir sebagai sebuah rasa karena sudah...