8-My Ice Man

4 2 0
                                    

'TILL Part 8 UPDATEEEE

Di hari Minggu yang ceria, semoga bisa menjadi salah satu bacaan yang menghibur ya.

Check this out
🎵🎵🎵
--

"Gue maafin asal Lo mau jawab pertanyaan gue." Laura memberi syarat.

Diamnya Bian yang tanpa bantahan atau tolakan meyakinkan Laura bahwa jawabannya adalah Ya, menyetujui.

"Kak Vano sekarang dimana? Masih di Surabaya?"

Duarrr...

Seperti petir di siang bolong. Dentumannya keras menghantam tepat di jantung Bian. Pertanyaan Laura menghadirkan kebingungan yang menyeruak tiba-tiba. Tidak menyangka bahwa itulah yang menjadi prasyarat permintaan maafnya akan diterima. Sebisa mungkin Bian menetralisir raut wajahnya supaya tidak terlihat mencurigakan, sebab ia tidak menyiapkan jawaban sama sekali.

"Ian, gue cuma nanya dimana kak Vano?" Nada suara Laura agak sedikit meninggi.

"Kak Vano kerja di Singapura, La. Kerja.. iya kerja." Jawab Bian terbata, asal ceplos dari barisan kalimat yang terlintas di pikirannya. Bian terlihat takut-takut akan respon Laura, namun syukurlah gadis itu hanya ber-oh ria dan diam saja. Lantas Bian menghembuskan napas lega.

"Oke, gue paham." Nada suaranya kembali normal, memelan. "By the way, Terimakasih atas minuman dan rotinya, Bian." Kata Laura seraya mengangkat botol dan plastik roti mengarah pada Bian. Laura hendak mengangsurkan uang sebagai ganti atas jajanan yang dibelikan Bian, namun lelaki itu mengibaskan tangannya, menolak.

"Sama-sama. Itu juga salah satu bentuk permintaan maaf gue." Ujar Bian tulus. "Makasih juga ya, La." Sambungnya lagi.

Laura memiringkan kepalanya, "Makasih untuk?"

"Untuk maafin gue dan meminjamkan catatan Lo." 

Laura membulatkan mulut, mengerti. "Sama-sama." Katanya dengan guratan senyum yang tidak pernah dilihat Bian sebelumnya. Senyum yang hanya Laura tunjukkan kepada Vano, dulu. Bukannya Laura harus bersikap dewasa ya, kan semua kejadian itu telah terjadi di masa lalu, dan seorang anak kecil tentu tidak memiliki dendam yang akan membawanya sampai dewasa bukan? Jadi wajar Laura memberikan senyum tulusnya pada Bian.
--

"Lo pulang naik apa, La?" Tanya Bian saat keduanya tengah membereskan sampah yang berserakan untuk membuat prakarya. Itu loh, tugas orientasi.

Laura tak bergeming masih fokus menyapu serpihan kecil kertas, "Naik angkot palingan. Belum terlalu sore juga."

"Mau gue antar?" Tawar Bian.

Gelengan kepala Laura seakan menjawab pertanyaan dari Bian. "Gak usah. Gue bisa sendiri. Makasih tawarannya." Kata Laura lagi seraya melenggang pergi membawa serok untuk dibuang ke tempat sampah.

Bian yang ditinggalkan hanya bisa menghela napas, padahal ia ingin sekali mengetahui dimana Laura tinggal. Tidak tau kenapa, ia merasa ingin mengetahui tentang Laura seluruhnya, sejak melihat gadis itu di awal jumpa. Ada rasa aneh yang menyelimuti hatinya, mungkin hasil dari akumulasi perasaan di masa lalu atas rasa bersalah yang menghantui. Sehingga rasa itu berubah menjadi keinginan untuk melindungi dan selalu berada di sampingnya. Semoga saja hanya itu, tidak ada rasa lebih yang nantinya akan menyakiti banyak pihak lagi. Apalagi dirinya telah memiliki seorang Irene, sementara Laura dari pertanyaannya tentang Vano mengisyaratkan hal istimewa.
---

Kedua lensanya terus mengarah pada seorang gadis berjaket abu-abu yang tengah berdiri di trotoar. Jaraknya tidak jauh dari ban mobilnya berhenti.

Sudah lebih dari 30 menit sejak terakhir kali ia mengecek jam tangan, dan masih setia berada disana tanpa bergeser se-inci pun. Begitu pula dengan gadis itu yang sudah terlihat gusar sebab sesuatu yang ditunggunya tidak juga datang, padahal sudah hampir jam enam sore, matahari pun kian beranjak kembali ke peraduan.

'TILLWhere stories live. Discover now