4-Kenangan Pahit

21 2 12
                                    

***

SDN. Pelajar Nusantara Surabaya tahun 2001

Suara gaduh mewarnai kelas 2 A pagi itu. Arkana Fabian-bocah yang memiliki badan paling besar diantara siswa yang lain, menjadi siswa yang paling ditakuti di penjuru sekolah. Bukan hanya karena bocah itu sering membully siswa lain, melainkan karena dia adalah salah satu atlet taekwondo kebanggaan sekolah. Bian merupakan anak yang cerdas, namun karena terlalu dimanjakan kedua orang tuanya, ia menjadi sangat suka memerintahkan teman-teman sekelasnya untuk menuruti semua perintahnya. Di kelas itu, ada seorang gadis kecil yang baru saja pindah dari Banjarmasin, namanya Laura Hanna.

Ada satu tradisi yang dilakukan siswa di kelas 2 A setiap hari senin , yaitu memberi sebuah upeti pada Bian, baik berupa makanan atau alat keperluan sekolah. Semua itu dilakukan agar Bian yang paling ditakuti dan suka mem-bully tidak akan melakukan keisengan kepada mereka selama satu minggu. Mau tidak mau, suka tidak suka mereka harus memberikannya. Setiap selesai upacara, Bian pasti berdiri diambang pintu kelas lengkap dengan sebuah kursi yang digunakannya untuk duduk bersama para dayangnya yang setia, Ari dan Karen. Sembari menyambut kedatangan teman sekelasnya, mereka akan berjaga persis di depan pintu yang tertutup dan hanya akan membuka pintu jika sudah menerima upeti.

Laura yang tidak tahu apa-apa menerobos masuk mengikuti Kania, setelah teman sebangkunya itu memberikan sebuah botol minuman pada anak laki-laki besar tersebut. Mengetahui hal itu, Bian tidak tinggal diam dan langsung menarik baju Laura, hingga membuat tubuh mungilnya terjatuh ke belakang pintu.

"Kenapa kamu tidak memberikan hadiah kepadaku?" tanya Bian dengan nada membentak, tangannya mengepal ke arah Laura. Kening Laura mengernyit heran, lantas ia langsung berdiri dan merapikan pakaiannya kembali.

"Hadiah apa? Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan?" jawab Laura dengan wajah polos. "Lagian, kamu bukan siapa-siapa. Tidak ada kewajiban untuk aku memberikan kamu hadiah apapun." Tegas Laura, sampai membuat semua teman-teman sekelasnya tercengang dan takjub karena Laura berani menentang si voldemort kecil itu. Dalam hati mereka juga meringis kenapa anak perempuan bertubuh kecil seperti Laura berani kepada Bian yang ditakuti semua, apakah ia tidak tau akan ada hal buruk yang terjadi pada Laura di kemudian hari.

Merasa menjadi pusat perhatian, Laura balik menatap wajah temannya satu-persatu, termasuk Indri yang berdiri dibelakangnya, "Apa ada yang salah dengan perkataanku?" Tantangnya lagi ke arah Bian. Matanya bertemu dengan mata Bian yang semakin memendam rasa kesal.

Tanpa terduga Bian menendang pintu kelas hingga semua engselnya terlepas dari dinding. Semua orang terkejut termasuk Laura. "Berani sekali kamu sama aku? Aku penguasa sekolah ini, Kecil." Bian menekankan kata kecil yang terdengar seperti mengejek di telinga Laura. Ia geram jika ada yang menyebutnya kecil, walaupun itu benar adanya.

Laura memundurkan langkah menjauh dari Bian yang tampak seperti Voldemort meskipun badannya gemuk. Iya, Voldemort-si pangeran kegelapan yang ada di buku dan film serial Harry Potter karya J.K. Rowling yang disukai Laura. Menyeramkan sekali, bukan?

Melihat tubuh Laura yang menjauh darinya, Bian malah tertawa dan beranggapan kalau sekarang gadis itu benar-benar takut kepadanya. "Kamu takut, Kecil?" Bian semakin mendekat, sementara Laura semakin melangkah mundur. Tidak ada yang membantunya saat itu, semua teman kelas Laura hanya bisa diam tak berkutik seperti terhipnotis akan ketakutan pada Bian.

Laura sudah hampir terjatuh saat Bian berhenti mendekatinya. Ada perasaan lega dalam diri Laura kalau saja setelahnya Bian tidak memerintahkan Ari untuk mengambil apapun milik Laura yang ada di atas meja. Dengan sigap, Ari mematuhi dan segera melaksanakan tugas bak prajurit yang dititahkan sang raja.

Tidak berselang lama, Ari kembali dengan sebuah kotak pensil berwarna biru yang diberi aksen gantungan kunci bertuliskan 'LAURA'. Bian membuka kotak pensil itu lalu menghamburkannya ke lantai persis di depan wajah Laura yang sudah pucat pasi, takut sesuatu akan terjadi pada kotak pensil kesayangannya. Setelah semua alat tulis tak tersisa, kemudian Bian melemparkan asal kotak pensil itu. Itu bukan masalah jika kejadian selanjutnya tidak terjadi. Persis di depan kedua mata Laura, Bian menginjak semua alat tulis itu sampai hancur berantakan. Tidak ada satupun alat tulis Laura yang berhasil lolos dari sepatu besar Bian.

'TILLWhere stories live. Discover now