10-Tepis Rindu

3 1 0
                                    

PART 10 'TILL UPDATEEEE

Ada yang penasaran gak kenapa subjudulnya Tepis Rindu?

Ada? Ada?

Kalo gitu langsung aja baca ceritanya...

Hope you like it?

***
"Kak, dia datang lagi." Kata Bian pada kakaknya lewat sambungan telepon genggam.

"Siapa Bian?" sambil menunggu jawaban Bian, Vano menyesap kopi yang telah dipesannya beberapa saat lalu di D'Coffe. Sementara itu, matanya tak henti memperhatikan gadis di meja seberang yang tengah sibuk dengan sebuah laptop berwarna hitam.

Bian tersenyum, "Laura Hanna." Serunya gembira membuat Vano tersedak minuman yang tengah ia nikmati.

Vano berdehem mengurangi gatal di tenggorokan, "Laura Hanna?" tanyanya memastikam bahwa bukan nama gadis yang sedari tadi ia pandangi disebutkan oleh adik kesayangannya.

"Iya kak, Laura yang dulu tinggal di seberang rumah kita."

Vano terdiam membatin dalam hati, 'Terlambat... ternyata Bian telah mengetahui gadis itu sudah kembali ke Surabaya... kenangan yang terpaksa dilupakan...'

Vano mencoba mengambil napas, mengontrol diri, "Lo tau darimana, Ian? Apa loe sudah ketemu Laura langsung?"

"Dia teman sekelas gue di kampus, Kak. Dia mahasiswa kedokteran." Nada suaranya terdengar senang. "Lo mau tau kenapa gue pindah ke rumah lama?" Diam sebentar, mengulur rasa penasaran Vano yang semakin dalam.

"Ya karena dia." Terang Vano, mengatakan alasan yang tidak sempat diungkapkan ketika Vano menanyakan hal apa yang membuatnya untuk pindah.

'Jadi, karena Laura?' Batin Vano. Meskipun telah mendapat penjelasan, namun masih ada rasa yang menghimpit dadanya. Apakah ada hal lain yang mendorong seorang Vano kembali ke rumah masa kecilnya, disaat ia sendiri pernah berjanji untuk tidak kembali ke sana, untuk tinggal lebih lama. Atau mungkin karena keinginan yang ia ucapkan dulu... Itu...

Berusaha menjawab pertanyaan yang tidak pernah Vano sampaikan padanya, Bian menjawab, "Gue pernah bilang bakalan menebus semua rasa bersalah gue sama dia kan, kak? Gue rasa sekarang waktu yang tepat." Katanya penuh keyakinan.

Rasa di dalam hati Vano semakin menjadi. Ada kekhawatiran yang berdampingan dengan rasa lega yang menjalar. Lega jika perkataan Bian beberapa tahun lalu dibuktikan dengan kesungguhan. Namun rasa khawatir juga tidak kalah mendominasi, khawatir jika sikap jail adiknya tidak hilang penuh apalagi ketika kembali bertemu Laura, rivalnya di masa lalu. Vano menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Ponsel masih terpasang di telinga. Menarik udara dan menghembuskannya lebih dari sekali. Berpikir.

Dia masih ingat betul kejadian masa lalu yang membuat gadis kecil seperti Laura menghilang tiba-tiba, juga tanpa kabar kepadanya. Rasa kehilangan yang besar, mungkin sampai sekarang bersarang di hati kecilnya.

"Ian beneran menebus dosa?" Keraguan dari nada bicara Vano ditangkap oleh Indra pendengar Bian.

"Lo gak percaya sama gue? Gue janji gak bakal bikin dia nangis, bahkan untuk pergi lagi dari kota ini." Bian berucap sepenuh hati, sepenuh jiwa bahkan. Tidak lagi ia mengingkari perjanjian yang telah ia ucapkan, apalagi jika berhubungan dengan Laura. Cukup penyesalan di masa lalu menghukum dirinya. "Gue janji, kak!"

Tanpa sadar, Vano menghembuskan napas lega. "Kak Vano percaya. Bikin dia bahagia, ya!" Pesan Vano. Ia bermaksud mengakhiri sambungan telepon, namun kalimat Bian setelahnya, membuatnya enggan melakukan niat tersebut.

'TILLWhere stories live. Discover now