Gia berkali-kali melihat jam tangan yang menunjuk angka sembilan dan sepuluh dipergelangan tangannya. Perempuan itu berdiri di depan pagar kontrakannya, menunggu Dimas menjemputnya kuliah. "Ck. Tau gini bareng Salsha gue."
Tangan Gia akan merogoh tasnya tapi, kegiatan itu segera terhenti karena ia sadar meninggalkan ponselnya di rumah. Beberapa saat setelah itu, mobil Dimas muncul dari gang, refleks Gia menghela napasnya lega.
"Lo niat banget ya buat bolos kelas?" sembur Gia begitu masuk dan duduk dimobil Dimas.
Dimas terkekeh. "Gue ingetin nih, kalo lo lupa." Ia melihat Gia yang sedang memasang seatbelt-nya. "Bogor sama Jakarta gak beda jauh Gi."
"Jam segini gak ada ya macet-macetan." Gia memutar bola matanya kesal. "Jangan ngibul deh."
Dengan melajukan mobilnya Dimas segera membalas ucapan Gia, berkelit memberikan alasan lain. "Tadi di pom antri gitu, Gi."
"Tuh kan!"
Dibentak seperti itu Dimas malah tertawa. "Sorry-sorry, gue kesiangan, tapi sumpah gue gak ada niatan bolos kelas."
"Bodo Dim. Yang jelas kita udah telat satu jam! Dan gak mungkin kan, kita masuk cuma setengah jam aja? Gila kali."
"Yaudah... "
"Yaudah apa?!"
"Gue udah minta TA kok ke anak-anak. Tenang aja lah."
Gia mendengus. Matanya dialihkan menatap jalanan yang lumayan lenggang. Dimas pun fokus menyetir. Sampai beberapa saat kemudian Gia mengeluarkan suaranya. "Dim?"
"Hm?"
"Temen-temen lo ... apa kabar?"
Dimas menoleh pada Gia beberapa detik kemudian kembali fokus menyetir. "Baik. Beberapa hari ini gue gak pernah denger berita temen gue ada yang meninggal atau apa."
"Oh." Gia mengangguk-anggukan kepalanya lalu menghela napasnya berat.
"Udah tiga hari ya, lo lost contact?"
Tanpa diberi tahu lost contact dengan siapa, Gia sudah tahu kemana arah pembicaraan Dimas. Perempuan itu mengangguk saat Dimas menoleh padanya.
Gia cukup tenang tiga hari kemarin meskipun terkadang tiba-tiba matanya tidak bisa diajak kompromi tapi, Gia tetap berusaha mengesampingkan hal itu.
Tiga hari memang tidak lama tapi, bagi Gia, tiga hari kemarin adalah salah satu hari tersulit untuk Gia.
Gia rindu Jordan itu sudah pasti. Jordan merindukan Gia, itu yang jadi pertanyaan perempuan ini sampai sekarang. Dan dari awal kerinduan itu pula yang menimbulkan rasa penasaran Gia. Gia belum tahu siapa perempuan yang membuat Jordan-nya berpaling.
"Dim, emang dia cantik banget ya?"
"Cantikan elo kemana-mana," jawab Dimas tanpa pikir panjang.
"Serius." Gia memiringkan tubuhnya menghadap Dimas. "Namanya siapa sih?"
Dimas mendengus keras. "Gue gak suka lihat lo nangis Gi, sumpah."
"Gue tanya nama bukan perasaan lo." Gia terkekeh pelan. "Siapa? Gue gak bakal nangis kok, gue udah kuat kali."
"Oh ya? Terus kenapa lo gak hubungin Jordan?"
Gia terdiam.
"Gak bisa jawab kan? Lo masih takut Gia, itu jawabannya."
Gia berdecak. Dia tidak peduli dengan hal itu sekarang. "Dim, kasih tau gue."
"Gue gak mau."
"Gue berhak tau!"
"Enggak." Dimas menatap Gia tajam. "Lo bisa tanya sendiri ke Jordan."
●●●
"Gue mau ketemu Salsha, lo duluan aja gak apa-apa," kata Gia begitu turun dari mobil Dimas.
Dimas hanya mengangguk sebagai jawabannya. Mereka pun berpisah, Dimas lurus sedangkan Gia ke arah kanan untuk menuju jurusan teknologi pangan.
Dalam perjalanan Gia berdoa dalam hati, semoga Salsha masih ada di kelasnya. Karena setahu Gia, temannya itu hanya ada satu kelas dihari kamis.
Dengan mata memperhatikan orang yang berlalu-lalang di samping kanannya, akhirnya Gia bisa bernapas lega saat melihat Salsha ditemani dua orang perempuan berjalan bersisihan. "Salsha."
Yang dipanggil refleks mencari sumber suara. Mata Salsha membulat begitu melihat Gia berlari kecil menghampirinya. "Gia?"
"Sal, gue perlu tahu sesuatu."
Salsha mengernyit kemudian ia pamit pada dua temannya dan menarik Gia menjauh.
"Kenapa?" tanya Salsha setelah membawa Gia ke ujung koridor.
"Lo pernah bilang kalo Dimas nyeritain tentang Kak Jordan ada cewek lain kan, di Surabaya?"
Salsha mengangguk. "Terus?"
Gia diam sejenak sebelum akhirnya dia mengangguk mantap. "Gue mau tahu Sal, cewek Kak Jordan."
Ekspresi wajah Salsha langsung berubah. "Enggak!"
"Sal, gue berhak tahu."
"Lo bakal sakit hati lagi, Gi. Gue gak mau lihat lo nangis lagi, gue gak suka."
Gia menghela napasnya kesal. Salsha sama saja dengan Dimas. "Sekalian Sal- Biar sekalian gue sakit hatinya, setelah itu, setelah gue yakin dia lebih baik dari gue ..."
"Gue bakal lepas Kak Jordan."
Salsha bergeming, ditatapnya mata Gia yang mulai berkaca-kaca itu. Ada rasa ingin menarik sahabatnya dari semua masalah ini, tapi di sisi lain ia tahu Gia harus cepat-cepat menyelesaikan masalahnya.
"Ya-yaudah deh, tapi gimana caranya?"
Gia segera tersenyum lebar. "Lewat Dimas."
"Dimas?" Salsha mendengus. "Gi, gue aja dapet info itu dengan ancaman gak kasih tahu lo ada dimana kemarin. Terus gue harus ancam dia pakai apa lagi?"
Tepat saat itu ponsel Salsha berdering nyaring. Nama Ifa tertera dilayar ponselnya, Salsha segera meminta persetujuan melalui tatapannya pada Gia dan langsung disetujui oleh Gia dengan anggukan.
Salsha menerima panggilan itu dan mengaktifkan mode loudspeaker.
"Lo gila ya! Masalah sepenting ini gue harus tahu lewat Kak Bima?!"
"Aduh Fa, maaf gue gak ada mak-"
"Lo jahat tahu gak?! Gia juga! Kenapa hpnya gak aktif sih?!"
"Iya Fa, hpnya Gia ditinggal di rumah soalnya-"
"Gue gak mau tahu! Gue lagi otw kontrakan lo sekarang."
Sambungan itu pun diputus sepihak. Gia dan Salsha menelan ludah masing-masing susah payah. "Gi, gimana dong?"
Gia mengedikan bahunya. Ia juga merasa bersalah membiarkan Ifa mengetahui hal ini dari orang lain, meskipun bukan orang lain juga karena, orang itu adalah Bima.
"Gue ada ide!" Salsha tiba-tiba melengkingkan suaranya.
"Apaan?"
Salsha tersenyum penuh arti. "Nanti gue kasih tahu kalau Ifa udah sampai."
To Be Continue ~☆
Ini pendek ya? Tapi aku besok up lagi kok :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Star
Teen Fiction[ C o m p l e t e ] When you release me again. || Sequel of from the star - Copyright 2017, Nabila Wardani - All Rights Reserved. Cover by vii_graphic