1. Selamat Malam

8.4K 1K 344
                                    


Seseorang berdiri arogan di samping Seongwoo.

Lirikan mata si pria seratus persen membuat Seongwoo jengah. 

Huh, apa sih salahnya, toh memang Seongwoo yang datang dan duduk lebih cepat sembilan detik daripada orang itu. Bagi mereka di luar sana, kehangatan merupakan rusa emas buruan yang begitu dicari. Dua derajat, siapa yang tidak nyaris membeku dengan suhu yang seperti itu.

Dan kedai ini sudah sesak dengan manusia yang menyelamatkan diri dari dingin. Sup hangatnya sudah terkenal sampai luar angkasa–ini kata Seongwoo–dan satu-satunya meja plus dua kursi yang tersisa sudah dimenangkan oleh Seongwoo.

Tidak penting bagi Seongwoo untuk meladeni rasa kesal pria itu, hell, meminta maaf karena sudah menduduki bangku ini? Lempar Seongwoo ke neraka paling dasar jika dia sudi melakukannya. Toh didiamkan pun akhirnya orang itu benar-benar pergi. Seongwoo tersenyum menang, kemudian ia beralih pada layar ponselnya.

Ada telepon dari Jihoon.


"...aku baru sampai, tidak perlu buru-buru. Selesaikan dulu kegiatanmu."


Setelah menyakukan ponsel, Seongwoo memanggil pelayan dan memesan sesuatu yang tidak pernah ia pesan sebelumnya di tempat ini.

Lupakan soal sup hangat.



* * *



"Jadi selama ini kau menipuku?"

Bagi Seongwoo, sekarang ada dua fakta yang begitu ia benci.

Pertama, kenyataan bahwa malam ini Jihoon menangis di depannya.

Ke dua, menangisnya Jihoon adalah karenanya. Seongwoo benar-benar phobia dengan air mata Jihoon. Saat air mata anak itu jatuh satu per satu, demi seluruh makhluk daratan, Seongwoo nyaris kehilangan detak jantungnya.

"Ukh, kenapa, kenapa kau diam...?" Jihoon membanting gelas-ke-sepuluh-nya di atas meja.

Seongwoo merasakan hembusan nafas Jihoon yang begitu kasar dengan bau alkohol menyengat. Menghantam telak wajahnya. Seongwoo bisa mendengar dengan jelas ketika Jihoon bersuara, "Kau jangan diam seperti bangkai..."

Bangkai dengan puluhan belatungnya.

Berusaha mengalahkan kerasnya batu, Seongwoo mematung dan tersenyum–miris. Jihoon kini resmi mabuk; ditambah mengumpat berkali, dan menangis berulang. Tambahan, semua itu karena Ong Seongwoo. Ong Seongwoo, yang dulu pernah bersumpah bahwa Jihoon si adik laki-lakinya itu adalah permata terindahnya. Yang sampai matahari terbit dari selatan akan selalu ia jaga keutuhan dan kesempurnaannya.

Tapi sekarang Seongwoo sendiri yang menghancurkan permata terindahnya.

Jihoon secara faktual belum cukup umur untuk merasakan semua ini. Maksudnya, alkohol. Dan Seongwoolah yang merusak kesempurnaan Jihoon. Dengan sengaja–dan memang sejak awal–Seongwoo berniat meracuni Jihoon dengan alkohol.

Ayolah, kapan lagi bisa begini, kan?

"...maaf." Untuk kali pertama setelah belasan umpatan Jihoon keluar, Seongwoo mau berbicara. Ia mengangkat ke dua ujung bibirnya dengan begitu berat. "Maafkan aku."

"Kak, satu tahun. Selama satu tahun kau berbicara padaku bahwa ayah dan ibu meninggal karena kecelakaan. Bahwa selama satu tahun aku mempercayaimu. Selama satu tahun pula..."

Beatitude [Ongniel]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang