11. Titik Buta

2.5K 424 173
                                    


Fragmen menjengkelkan di musim dingin adalah tingkat kelicinan aspal jalan yang meningkat beberapa kali lipat. Huft, saat malam, mengemudi dengan ekstra waspada adalah hal yang membuat tengkuk menjadi pegal.

Jisung merasakannya. Lagipula, ck, bau alkohol yang masih melekat di coat mahalnya ini, Jisung jadi ingin menangis; laknat saja temannya yang dengan bodoh menumpahkan minumannya karena terlalu heboh bercanda. Kencan buta yang ia datangi atas paksaan sahabat dekatnya tadi, sebenarnya Jisung harap sebagai batu loncatan untuk mengisi posisi putri mahkota yang sampai sekarang lowong. Ehm, tidak usah berpikir yang aneh-aneh. Jisung juga manusia, bukan masalah kan kalau si putra mahkota bersenang-senang hingga tengah malam begini? Toh temannya banyak.

Yang jadi masalah adalah saat ini, matanya menemukan sesuatu yang tidak beres di dekat perempatan. Memastikan bahwa yang dilihatnya bukan visual-halusinasi yang menipu.

Delusi apanya, itu hanya seonggok Daniel.

'Dia, masih seperti itu...?'

Gumaman melayang, menyeret sebagian rasa sakit hatinya mengambang, keluar. Membuatnya memutuskan untuk menepikan mobil. Isi hatinya sekarang adalah, menyiapkan ledakan yang bisa benar-benar mengenyahkan Daniel dari perasaannya. Dengan skala sebesar apa?

Dia sendiri tahu jika pertanyaan itu akan terus mengekor tanpa kesimpulan.



* * *


"Kalau kau semenyedihkan ini, bagaimana aku bisa meninggalkanmu..."

– Ong Seongwoo


* * *



Dunia ini diciptakan secara murahan.

Itu menurut simpulan Daniel yang memang tak pernah selaras dengan program pusat kendali otaknya. Mengencangkan posisi mata agar tidak meleset dari sebuah titik bidik. Titik bidik berupa sosok kecil dengan wajah dinginnya.

"Jisung?" Daniel memastikan yang dia sebut adalah nama yang benar.

Di luar dugaan, wajah dingin dari sosok itu pergi. Berganti senyuman. Mengerikan, sekaligus, "Mabuk seperti biasa, eum?"

"Kau kenapa disini?"

"Daniel bertanya." Yang bersuara, melangkah mendekati. "Aahh, entahlah. Aku juga tidak tahu. Aku hanya menyetir sendiri di tengah malam dan tiba-tiba menemukanmu teronggok di tepi jalan."

Seperti sampah.

Haha, sialan.

Daniel memadatkan telinga. Mulut itu, mulut siapa yang Jisung pinjam sekarang? Demi, Daniel yakin itu bukan mulut Jisung.

"Dan kau peduli?"

"Peduli?" Jisung beranjak duduk di bangku malang, bangku yang sejak tadi hanya mematung diam melihat sebuah pembicaraan yang semakin tidak jelas arahnya. "Dalam mimpimu."

Jisung rasa, ia perlu untuk menyempatkan diri menatap langit gelap. Rontokan salju yang jatuh tak beraturan memasuki sela-sela rambutnya. Berusaha-semakin-mendinginkan kepala yang pada kenyataannya sudah beku sejak sekian lama.

Beatitude [Ongniel]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang