[!] Dianjurkan untuk membaca
lengkap hingga akhir catatan penulis.
* * *
Ada tamparan.
Pipi kiri Daniel.
Jadi, demikian ini adalah yang terbaik? Segaris pertanyaan, menyeruak.
"Bisakah kau tidak membawa kesialan lagi bagi kami?"
Bersama suara sang tuan, berikutnya.
Daniel mengerjap, merengkuh pipinya yang membiru. Nyatanya, ujung bibirnya juga lecet.
"Kenapa...?" Tanya dia, "Kalian menuduh semua ini terjadi karenaku?"
"Mengelak dari keegoisanmu?" Yang Mulia tersenyum; bukan sesuatu yang baik. "Setelah kau memaksa keluar dari istana dan mengacuhkan kami, mengacuhkan Jisung, kau tidak tahu betapa susahnya kami."
"Susah?" Haha, Daniel ingin sekali terbahak gila.
"Kau pikir mudah? Kau pikir mudah melihat Jisung yang terus-terusan menginginkanmu pulang? Kau pikir mudah melihat air matanya keluar?"
Pikir Daniel, itu mudah.
Ya.
Itu, saat ia berjibaku dengan segenggam pemahaman bodoh.
Yang ia gunakan hanya ego yang munafik.
"Jika keegoisanmu membuatnya mati, kami tidak segan mengutukmu."
Egois? Benarkah? Iyakah Daniel begitu egois hingga membuat Jisungnya menderita? Menderita terus-menerus hingga pada puncaknya ia membusuk di belenggu ranjang rumah sakit seperti hari ini? Dia hanya bergantung pada sebuah alasan; dia pergi karena semua sudah tidak menganggapnya ada. Lantas untuk apa dia bertahan pada posisinya yang menyakitkan itu?
"Lalu untuk apa."
"Hah?"
"Untuk apa kalian membiarkan Jisung menginginkanku pulang? Bukankah mudah bagi kalian untuk mendoktrinnya agar menganggapku sebagai sialan yang hanya jadi ampas kotor di istana? Untuk apa kalian merasa susah karena aku pergi? Bukankah Daniel memang sejak awal sudah tidak ada lagi dalam kamus kalian? Kalian punya Jisung, kan? Dia segalanya bagi kalian, kan? Dan kalian tak perlu kelimpungan untuk membawaku kembali, bahkan, untuk menghilangkan jejak hidup Daniel, karena memang Daniel sama sekali tidak mengambil peran dalam cerita murahan kalian. Apa semuanya pura-pura tidak mengerti?"
Yang masih bernyawa di selasar itu, semua diam.
Tidak ada sanggahan.
Mereka berlalu, masuk ke dalam ruangan tempat Jisung terbaring.
Meninggalkan Daniel yang terpekur tanpa gurat pandang ke arah manapun. Hanya Seongwoo yang setia di belakangnya, matanya masih berkunang-kunang karena menyaksikan adegan yang barusan. Nyonya, serius, meski tak ketara, sekarang kakinya gemetaran. Ketika pembicaraan itu berlangsung, ia melihat dengan jelas, saat ratu menangis dengan wajah takut dan kecewa, saat seorang lelaki menahan emosi seraya memegangi bahu ratu yang gemetaran, serta saat seseorang lain yang termangu tanpa mengerti apa yang sebenarnya terjadi–well, bagi Seongwoo wajah orang ini tampak aneh, melihatnya, Seongwoo seperti merasa terpeleset ke selembar titik waktu yang lain.

KAMU SEDANG MEMBACA
Beatitude [Ongniel]
FanfictionDeretan episode tentang fase kehidupan Seongwoo dan si pangeran-musim-dingin-sialan pada sebuah titik termanis. "Haruskah kuragukan bahwa kau adalah definisi paling tepat dari frasa kebahagiaan?" - Ong Seongwoo [Ongniel/Kang Daniel/Ong Seongwoo/Wan...