4. Literasi Kenyataan

2.9K 641 252
                                    


Kita bisa melihat Minhyun dengan wajah murungnya.

Wah, benar, tepat sekali. Kesalnya adalah karena Seongwoo. Kesal? Mungkin lebih tepatnya, frasa itu ditulis sebagai, cemas.

Bukan begini harusnya. Minhyun memastikan bahwa hatinya, dalam pergerakan menjengkelkannya di dalam subway koridor tiga yang sepi ini, meragukan ke-baik-baik-saja-an kedua Ong. 

Seongwoo dan Jihoon.

'Ya, ya, awas saja kalau aku bertemu dengannya nanti. Akan kujewer bibirnya.'

Itu Hwang Minhyun.

Yang mati-matian membuang rasa khawatirnya.

Ketika tidak sengaja matanya melirik sebuah sudut sepi di bangku ujung gerbong, Minhyun merasa perlu untuk bergeser pindah kesana. Dia ingin tidur. Meski, begitulah, berusaha tertidur tanpa rasa kantuk.

Minhyun beranjak, berjalan di atas lantai subway yang melaju memang butuh keahlian khusus, terutama di saat seisi gerbong hanya ada dia dan seorang laki-laki yang sudah mendengkur sejak Minhyun naik di stasiun tadi.


'Lupakan, lupakan Ong Seongwoo, lupa–'


Bruk.


Baiklah. Hwang Minhyun dengan segala martabatnya yang kini runtuh.

Dia jatuh tersandung kaki penumpang laki-laki itu.


'Ha-haha, brengsek.'


Mengumpat, dan tetap berjalan lagi.

Karena si penumpang masih sibuk dengan dengkurannya.



* * *



"Apa sih untungnya bunuh diri?"

– Daniel



* * *



Daniel, dalam kesadaran yang benar-benar utuh, ia mengelus surai pria yang terbaring di depannya. Kasar, Daniel jamin ini bukan tipe rambut yang sehat. Rangsangan itu tepat mengenai alam pikirnya, apa, apa yang sebenarnya laki-laki ini rasakan? Daniel tidak mau berpaling sebelum ada jawaban keluar dari balik wajah malang itu. Ia tidak buta dan tidak sedang dibutakan oleh apapun, biarkan Daniel berkesimpulan bahwa, "Anak ini tampan."

Bukan.

Orang yang bernama Daniel bukannya gagal paham dengan keadaan.

Yang jelas dia semakin ketagihan dengan wajah pria itu. Anggap saja tidak ada yang lancang saat Daniel terang-terangan membelai rahang si pria malang. Hm, rahangnya tegas, dan Daniel bisa begitu betah memandang hidung lancipnya. Surainya berantakan, memang membuat kadar ketampanannya meroket.

Tidak, mohon percayalah bahwa–sekali lagi–Daniel tidak sedang buta dan dibutakan. Ini memang masih pagi, tapi testosteronnya membanjiri sebuah ruang kendali nafsu. Daniel menunduk dan menyondongkan wajahnya ke wajah pria itu–eh?–hingga sengal nafas si pria dapat Daniel rasakan. Ia memejamkan mata, persetan, seperti sedang mencari sebuah sensasi. Awas. Yang dibawah umur dilarang memasuki area ini. Daniel tidak tahu harus bagaimana, aey, anggap saja ini kecelakaan, bisa kan?

Beatitude [Ongniel]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang