"Untuk apa aku disini?"
Saat Daniel berbicara, ibunya tak mengeluarkan bantahan yang–sebenarnya–terpendam di dalam perasaan. Menunduk dan merasa bahwa semua ini karena kesalahannya, sebagai perempuan tentu hatinya bersifat sensitif; anak laki-lakinya mengatakan bahwa ia adalah wanita yang tidak memiliki rasa peduli, bagaimana tidak sakit?
"Maafkan mama, sayang..." Wanita itu dengan, merintis upaya, berusaha menahan kekecewaan Daniel.
Ini tidak adil.
Dulunya Daniel hanya ingin merasakan kepuasan yang semestinya dialami oleh semua anak laki-laki di dunia. Tapi bagian terkecil dari kepuasan itu bahkan tak pernah Daniel endus baunya. Persetan segalanya. Saat Daniel ingin pergi, dan sekarang semua orang malah menahannya.
Where have you been, Madame? Kemana saja kalian saat dulu Daniel membutuhkan kalian?
Daniel sudah tidak meminta lebih. Dia cukup menginginkan untuk tidak terus-terusan merasa kecewa–itu saja.
"Bukankah kalian masih memiliki Jisung?"
Wanita itu berusaha untuk tidak terkejut ketika lelaki sulungnya disebut. "Daniel, sayang, kami juga memilikimu. Tetaplah tinggal disini..."
"Apa yang kudapat?"
"Daniel..."
"Tidak ada. Kalau kalian memberiku kemewahan, oh, haha! Maaf saja, aku kenyang. Tidak ada lagi yang bisa kudapatkan disini. Lalu untuk apa tetap tinggal?"
"Jika kau pergi, yang mulia bisa mencabut gelarmu, sayang. Itu yang kami khawatirkan."
"Memangnya peduli apa kalau papa mencabut ge– Aah! Jadi kalian lebih mengkhawatirkan masa depan gelar kehormatanku?" Daniel menyalak. "Kalian memandang kedudukan adalah segalanya. Terima kasih, aku semakin semangat meninggalkan istana ini."
Ringkasan suara Daniel menggebu, membuat wanita itu kembali terdiam. Merasa tolol karena kata-katanya justru menjadi pemacu Daniel untuk angkat kaki dari istana.
"Sayang, kau benar-benar tidak mau memaafkan kami?"
"Aku tidak menganggap kalian memiliki kesalahan yang harus dimaafkan. Dan aku tidak menganggap kalian pantas untuk mengenal Daniel." Daniel, dengan satu tangannya nyaris menyeret kopernya sebelum ia merasakan sesuatu yang hangat memeluknya.
Ibunya, menangis di dadanya.
"Maafkan mama. Bisakah kita memulai lagi semuanya dari awal? Mama tidak ingin Daniel menderita lebih lama lagi dengan cara seperti ini. Tolong beri kami kesempatan..."
Kenapa harus air mata?
Stimulan tersebut yang memaksa Daniel untuk mengendalikan jalan pikirnya secara perspektif lurus. Saat ini semuanya sudah berubah; hatinya bebal. Air mata itu memang bisa ia dengar, ia rasakan, bahkan ia tahu air mata itu datangnya untuk siapa. Jalan pikir yang ia anggap lurus adalah jalan pikir yang sesuai dengan realita yang ia dapatkan. Satu, jika ia tidak mendapat apa yang ia inginkan, untuk apa bertahan? Dua, memutuskan untuk pergi setelah semua mengecewakannya, apakah sebuah kesalahan?
"Aku pergi."
Daniel merasa lidahnya ngilu. Ia menengadah; memandang langit-langit berukir sebagai representasi dari langit yang sesungguhnya. Apa disana ada yang menyaksikan semua ini? Matanya menyipit, berusaha untuk menemukan sebuah penjelasan yang bisa mengantarnya untuk memahami fragmen silang-sengkarut yang begitu pelik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beatitude [Ongniel]
FanfictionDeretan episode tentang fase kehidupan Seongwoo dan si pangeran-musim-dingin-sialan pada sebuah titik termanis. "Haruskah kuragukan bahwa kau adalah definisi paling tepat dari frasa kebahagiaan?" - Ong Seongwoo [Ongniel/Kang Daniel/Ong Seongwoo/Wan...