17. Konstelasi Nada

2.4K 388 309
                                    


Lalu sejak kapan Jihoon tahu bahwa Seongwoo sudah menjadi aset Daniel?

Pada suatu pagi, ada yang mengumpat diam-diam di lobi.


"Dasar idiot terkutuk."


Pukul setengah tujuh pagi–dan menurut Daniel ini masih pagi ayam–dipaksa untuk membeli bahan makanan di minimarket sebelah, mana bisa ia terima dengan riang gembira. Oh, tidak. Jika bukan karena Ong Seongwoonya, fragmen ini pasti tidak akan pernah ada.

Hasilnya Daniel merengut sepanjang jalan, di lift, di koridor, di lobi. Tapi tenang, tidak ada yang bisa melihat rengutan jeleknya. Salahkan masker abu-abu yang membungkam wajah itu. Astaga, penyamaran lagi.


Tunggu.


"Jihoon?"

Daniel menemukan anak itu tidur dengan posisi duduk di salah satu kursi lobi. Jangan-jangan semalam dia tidur di tempat ini?

"Pasti sakit." Daniel menghampiri Jihoon, membetulkan posisi kepalanya. "Kenapa tidur di–"

"Uhm,"

"O-oh, sorry!"

Jihoon menetaskan bola matanya yang masih merah. Sempat menatap diam kedua mata Daniel, Jihoon rupanya dengan mudah mengenalinya. Tangan dingin Daniel yang menyentuh rahangnya itu sepertinya adalah sebuah polusi.

"Ah, Tuan Daniel. Selamat pagi."

"Sst. Jangan dengan panggilan itu. Kenapa tidur disini? Semalam Seongwoo menunggumu."

"Maaf." Jihoon terus terang saja, "Karena Kak Daniel menginap, jadi aku tidur disini."

"Jangan membuatku merasa bersalah, dong." Daniel memelas. "Kau bahkan masih bisa tidur di kamarmu sendiri saat aku berada di kamar Seongwoo."

Anehnya, setelah Daniel mendapati Jihoon tersenyum simpul, anak itu memeluknya.

"Ng?" Ia mengernyit heran.

"Kak." Ketika berbisik, wow, suara Jihoon bisa terdengar maha seksi. Menurut telinga Daniel. "Boleh aku memelukmu seperti ini?"

"Eum. Ya," Ada apa dengan anak ini? Daniel berspekulasi.

Tak lama Jihoon melepas ikatan tangannya.

"Terima kasih sudah memberi kami banyak hal." A-apa maksudnya banyak hal? "Termasuk cinta untuk Ong Seongwoo."

Geez.

"Jihoon?"

Jihoon memungut tas dan jas seragamnya. Memijat lengan Daniel serta berkata santai.

"Semalam terlalu manis. Untuk itu aku tidak pantas mengganggu."

Gulp.


Jihoon tahu diri. Saat semalam ia membuka pintu dan mendapati sebuah adegan dengan aksen luar biasa ajaib terjadi di depan mata sadarnya, ia tidak bisa untuk bertahan lebih lama. Bibir yang terpaut itu terlalu sadis untuk disaksikan oleh pihak ke tiga, maksudnya, dirinya. Benar, sekali lagi Jihoon tahu diri. Mengapa harus mengganggu jika bisa menyingkir? Tentu saja Jihoon memilih opsi ke dua.

Beatitude [Ongniel]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang