2. Kaleidoskop

6.1K 783 368
                                    


Karena ada anak kecil yang membungkuk lugu setelah tidak sengaja menginjak ujung sepatunya, Seongwoo tersenyum. Tapi yang jelas Seongwoo tak ingat kapan terakhir kali ia bisa tersenyum seringan ini. Satu tahun sudah membuat urat bibirnya mati.

Astaga, ini baru satu tahun, hei! Satu tahun yang bagi Seongwoo tidak ada bedanya dengan seperempat abad menginap secara gratis di neraka; dengan segala servis penderitaan, plus pelayanan bonus berupa kekecewaan.

Tenang, Seongwoo sudah mendapatkan semuanya cuma-cuma.

Sekarang dia duduk di tempat yang dia sendiri tidak tahu ini tempat apa, ini daerah mana. Selain menderita ternyata Seongwoo juga bodoh. Duduk diam memangku dagu selama setengah jam sampai tangannya kebas karena terlalu lama menopang berat kepalanya-padahal kepala Seongwoo tak berisi apa-apa lalu apanya yang berat?

Piip.

Ponsel jeleknya bunyi.

Pesan dari Jihoon. Isinya panjang sekali, Seongwoo tidak paham sebenarnya Jihoon ingin menulis cerpen atau bagaimana.

'Dia kan cukup bilang, aku datang terlambat, begitu saja.'

Laki-laki berambut tebal itu mengeluh dan keluhannya terbang terbawa angin.

Harusnya ia berdiri dan mengejar waktu, bersaing dengan ratusan orang untuk bisa mendapatkan meja di kedai sup paling juara di kota ini. Kenyataan bahwa sekarang pantatnya sudah lengket dengan kursi.

Oke. Di sinilah Seongwoo sekarang. Sendiri, menatap lalu-lalang orang. Raga-raga bahagia yang masing-masing sibuk dengan kenikmatan hidupnya. Shit, ini terlalu puitis. Seongwoo jijik dengan sesuatu yang indah. Definisi indah menurut Seongwoo adalah ilusi.


Karena yang nyata di mata Ong Seongwoo, adalah penderitaan dan kekecewaan.


Dan sepertinya Tuhan sudah mengetuk palu, semua itu mutlak untuk Seongwoo.

Diam membuat ingatannya terombang-ambing. Tidak ada batasan antara masa lalu dan malam ini. Ketika Seongwoo bangun dan disambut wajah lembut ibunya. Ketika salju turun di pagi buta. Ketika suara decitan lengking disusul dengan teriakan pilu.

Saat semuanya terjadi, Seongwoo merasa kakinya tidak memijak tanah. "Ini mimpi, kan. Katakan ini semua mimpi..."


Awalnya, itu adalah kata-kata pengalih ketidakpercayaannya.



* * *



Ada yang hilang, namun bait-bait itu perlahan terbaca kembali.



* * *



"Ibuuuu!"

Suara jelek siapa yang mengagetkan orang seisi pasar di tengah hari begini? Salahkan Ong Seongwoo. Saat ibu-ibu penjual ikan memandangnya dengan tatapan bingung, Seongwoo dengan seringai lebarnya berlari dan langsung memeluk ibunya.

Beatitude [Ongniel]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang