13. Definisi Rasa

2.8K 417 281
                                    



[!] Dianjurkan untuk membaca
lengkap hingga akhir catatan penulis.



* * *



Sebuah leksikon menggelikan.

Aku dan kamu.

Andainya?

Jisung menggelak lucu berikut mengibaskan telapak tangan di depan wajah. Aneh. Berdiri terenyuh; menatap lukisan besar dengan balutan bingkai kuning-emas berukir.

"Daniel. Pulang, dong, haha."

Bagaimana mungkin dia mau pulang, saat kau sendiri tidak bisa merapikan sifatmu yang inkonsisten?

Miris. Jisung melucu, dan leluconnya dia tertawakan sendiri. Dugaan sementara, pagi ini sebilah kesadarannya masih tertinggal di bawah bantal. Jisung seperti belum bangun penuh dari tidur malamnya yang berkualitas buruk. Ayolah, tuanku, banyak ciptaan Tuhan yang bersuara tidak mengikhlaskan keberadaan kantung mata yang samar-samar mulai terbentuk di wajah spesial anda.

Seperti yang semua tahu, Jisung menikmati hidupnya sebagai putra mahkota yang sibuk. Kelelahan yang terjadi, bukan karena statusnya. Mungkin ada sumber lain, yang, ehem, begitu tabu untuk dibahas. Lihat saja lukisan itu, yang dengan sialnya masih dibiarkan bertengger di dinding, di tengah teramat menjijikkannya upaya istana untuk menghapus semua jejak orang itu; itu, tuan figur di dalam lukisan.

Omong-omong. Ini genap lima hari setelah Jisung menampar wajah orang itu dengan lembaran uang.

Brengsek, ya.


"Sayang."


Jisung melepaskan mata lentiknya dari lukisan itu begitu ada suara perempuan dari belakangnya.

"Mama?" Berikut menunduk sopan, "Selamat pagi."

"Mengapa bangun sepagi ini? Orang-orang bahkan belum selesai menyiapkan sarapan." Ratu mengusap punggung Jisungnya.

"Mama sendiri?" Jisung tersenyum, memeluk mama. "Ini masih terlalu pagi bagi permaisuri untuk bangun."

"Mama harus mempimpin mereka untuk menyiapkan upacara." Serta perempuan itu tersenyum bersama pagutan ruas manis.

"Oh, sudah akan dimulai?"

"Ya, sayang. Dan pangeran mahkota juga harus hadir nanti."

Garis lengkung–yang seharusnya–bahagia terlekuk manis di wajah-pagi-hari pangeran mahkota.

Menyambut tahun baru(*). Dibaca dari kalender lunar menurut keyakinan Konfusius. Seluruh negara akan riuh dengan pelbagai perayaan, begitupun istana. Syahdannya, Jisung paham persis. Tradisi yang dianutnya, mengharuskan keluarga untuk berkumpul bersama secara utuh di malam pergantian tahun. Namun buruknya, istana yang seharusnya menjadi contoh bagi khalayak banyak, mengapa justru sebaliknya?

Keluarganya bahkan tidak bisa dijadikan teladan yang baik.

Karena setangkai sedang terlepas, tengah terayun tanpa arah.

Begitulah.

"Mama," Jisung menunduk dan berkata dengan keraguan yang pasti.

"Ya?"

Beatitude [Ongniel]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang