10. Rintik-Rintik Ragu

3.3K 457 404
                                    


Begini katanya.

Pangeran Jisung adalah segulung mahakarya yang diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum.

Manis sekali!

Sayangnya.

Ketika Tuhan menciptakan Jisung, Ia memang tersenyum.

Namun saat itu Tuhan terlalu–larut dalam suasana–bahagia atas karya ciptaannya.

Sampai-sampai Ia lupa memberi berkah kebahagiaan hidup untuk Jisung, sebelum Jisung benar-benar sempurna diciptakan.


Hentikan.


Tuhan itu definisi Maha Sempurna. Bagaimana mungkin Tuhan bisa lupa? Faktanya sih Tuhan memang Maha Sempurna. Mana bisa disalahkan? Semua yang terjadi selanjutnya adalah murni kesalahan masing-masing.

Masing-masing di sekitar Jisung.

Jisung pun, tidak tahu apa-apa.


Cukup.


Tahu apa dia? Sudah dikatakan sebelumnya bahwa Jisung tidak tahu apa-apa. Salahkah jika menyebutnya bodoh? Perbandingannya satu sama. Di satu sisi Jisung terlalu percaya pada keyakinan bahwa ia telah terikat dalam sebuah kebahagiaan dengan Daniel; keluarga yang utuh. Serta di sisi lain Jisung tidak sadar bahwa semua yang ia dambakan–di poin yang disebutkan sebelumnya tadi–terlalu susah untuk dipercaya sebagai sesuatu yang prospektif.

Sekarang Jisung hanya menatap bingung beberapa pekerja yang mondar-mandir di hadapannya, beberapa kali tersenyum dan menunduk sopan, berlalu dengan permisi yang begitu tunduk. Ah. Perasaannya tidak enak. Dan tidak main-main.

"Mereka. Mereka apakan kamar Daniel?"

Ia berjalan. Mengikuti arah bau khas bongkaran, aroma furniture baru dan ceceran serpihan kayu. Pintu kuning besar itu ia dorong perlahan. Terbuka, memberikan sebuah rapor merah untuk rincian keyakinan yang tengah berusaha ia pertahankan.

Jisung masih menyipit heran. Wah. Syukurlah ia menemukan seseorang yang bisa ia jadikan informan mengenai aktivitas aneh yang dilihatnya kini. "Eum, Bibi Kim?"

"Oh. Tuan Jisung. Selamat pagi." Wanita berambut ikal yang merasa terpanggil menunduk sopan.

"Bibi, ada apa ini?"

Tidak ingin tuannya ragu. Wanita itu menjawab dengan pelan, meyakinkan, dengan cara yang hati-hati, "Maaf, tuan. Ini perintah Yang Mulia."

Segala sesuatu tentang Pangeran Daniel, adalah pembahasan yang sensitif.

"Dari, papa?" Jisung berbisik bingung. "Memangnya papa menyuruh apa?"

"Tuan. Apakah anda yakin Tuan Daniel akan pulang, kembali...?"

Jisung diam.

"Yang Mulia merasa–" Kepala pelayan itu ingin sekali berjanji kalau ini terakhir kalinya ia terlibat pembicaraan tentang Daniel dengan Jisung. Angan-angan, uh. "Merasa bahwa Pangeran Daniel tidak mungkin kembali."

Mana ada yang tahu.

Bahwa detik itu Jisung marah.

"Dan Yang Mulia, merasa perlu untuk membongkar kamar ini."

Kami ulangi sekali lagi.

Jisung marah.

Kepada siapa?

Beatitude [Ongniel]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang