Komen di part kemarin, daebak. 😅😅
Gitu lagi dong. Ya ya ya? Hehe****
Dua hari setelahnya, Haikal tetap tidak menghubungi Maira. Hanya ada dua kemungkinan yang mengekor. Haikal masih marah, dan belum mengetahui perihal Maira yang mengembalikan cincin lamaran mereka. Atau. Haikal sudah tahu, lantas memilih membenci Maira yang tidak menepati janji.
"Ra?" Laili memanggil.
"Ya?"
"Ayo makan siang," ucap Laili sembari mengenakan lagi blazernya. "Hujan-hujan gini, makan bakso pasti mantap."
"Kalian aja. Aku sudah ada janji makan siang."
"Sama Mas Boss?"
Seketika Maira melotot, mengacungkan kepalan tangannya. "ngawur. Sama Ayahku, Ya."
Laili mengangkat dua jarinya ke udara. Terkekeh bersamaan dengan kerlingan menggodanya. Puas mengejek Maira, gadis itu melenggang pergi menarik tangan Akmal. Kini, ruangan ini sunyi senyap.
Maira menghela napas panjang. Memijit pelipis dengan jemarinya. Ia teringat pada pesan Ayah malam tadi. Tidak ada yang menyakitkan dari perkataan Ayah, tapi entah mengapa selalu sukses membuat hati Maira jadi kian sesak. Dalihnya mengajak Maira makan siang. Tapi entah mengapa Maira yakin Ayah memiliki maksud lain.
Mungkin Ayah ingin berterima kasih karena akhirnya Maira sedia melepaskan Haikal. Mungkin Ayah akan memberinya wejangan-wejangan agar segera bangkit dari sakit hati ini. Atau mungkin, Ayah ingin mengundang Maira untuk mengantarkan Haikal mengkhitbah Ima—calon menantu idaman Bunda.
Sepuluh menit kemudian, Maira sudah sampai di rumah makan sunda yang Ayah pilih. Ayah sepertinya niat sekali dengan makan siang kali ini. Bisa ditebak dari pilihan rumah makan yang letaknya tak jauh dari kantor Maira. Bahkan Ayah sudah mereservasi sebuah saung. Ah. Ternyata Ayah tidak sendiri. Ada Bunda yang menemani duduknya.
Sembari mengayunkan kaki, Maira sedang mengatur napas. Ia harus tenang. Ia harus bisa memasang wajah baik-baik saja di depan Ayah dan Bunda. Ayah maupun Bunda rasanya tidak perlu tahu seberapa sakit hati Maira saat ini.
"Ayah?"
Ayah menarik wajahnya dari kotak catur yang dimainkan bersama Bunda. Tersenyum semringah, yang sontak saja membuat jantung Maira tercubit. Sedikit, Maira mengangkat sudut bibirnya.
"Lama nunggu, Yah?"
"Belum kok. Ya kan, Bun?"
Bunda juga ikut tersenyum, meskipun tak selebar milik senyum Ayah, "baru kok Dek. Pesanan kita aja belum selesai dibikin. Bunda juga sudah mesenin kesukaan kamu, atau mau milih lagi?"
Maira menggeleng, "ikut pilihan Bunda saja."
Ayah dan Bunda kaku mengangguk. Mereka berusaha mencairkan suasana dengan menggiring Maira ke beberapa obrolan lain. Dari progres pekerjaan Maira, hingga masa kecil Maira yang katanya menggelikan. Mungkin Ayah dan Bunda hanya lupa menyinggung kabar Haikal. Setidaknya beri tahu Maira bahwa Haikal baik-baik saja.
Yang dilakukan Maira siang ini hanya mengikuti arus. Berusaha tertawa saat Ayah melakukannya. Berusaha tersenyum saat Bunda menatapnya. Berusaha berceloteh banyak, meski lidah ini rasanya kelu. Maira harus tampak kuat. Tidak baik membuat orang tua merasa bersalah pada anak tidak tahu diuntung sepertinya.
Tidak berselang lama, seorang pria dengan logat lembut menyela obrolan Maira bersama Ayah dan Bunda. Mengantarkan sebakul nasi, hingga dua ekor ikan yang dibakar sampai gosong. Melihat makanan sebanyak ini tak membuat cacing-cacing dalam perut Maira bertengkar. Hanya karena dipaksa oleh Ayah, akhirnya Maira kembali mengalah dengan mengambil sedikit nasi.
![](https://img.wattpad.com/cover/123016656-288-k696489.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta berselimut Tabu
SpiritualBeberapa part telah dihapus Maira menaruh perasaan pada 'kakaknya' sendiri. Tidak sanggup menahan, hingga akhirnya lepas pula pernyataan itu dari bibirnya. Segalanya kemudian berubah seratus delapan puluh derajat. Pria itu balas mencintainya. Hanya...