Mengikuti titah sang adik, roda mobil Haikal diarahkan menuju sebuah kafe yang pernah Diana incar. Dari sudut mata, Maira mengetahui bahwa lagi-lagi Haikal tampil memesona. Kendati hanya dibalut dengan celana jogger juga sebuah sweater warna hitam, pria itu tetap saja mengagumkan. Jika tidak mengingat tentang misi menebas perasaan terlarang pada pria ini, mungkin Maira tak akan segan berlama-lama memandang kaca spion tengah mobil berwarna silver ini.
"Gimana proyek kafe barunya, Mas?" Diana bertanya.
"Tumben kamu mau tahu tentang kafenya Mas?"
Gadis cantik dengan rambut hitam ikal yang terurai apik itu tertawa kecil. Menyimpan lipstik yang baru saja digunakan untuk menghiasi dua belah bibir tipisnya dalam sling bag merah, yang sepadu dengan warna hitam dari kemeja tanpa lengan yang ia kenakan.
"Ya pengen nanya aja. Kan kalau kafe barunya Mas Kal sudah buka, artinya Mas Kal makin banyak duit."
"Dasar mata duitan..." sengit pria itu dengan tawa. Bahkan telapak tangannya berlari jahil mengacak rambut sang adik. "lokasinya sudah dapat. Cukup strategis, parkirnya juga longgar. Masih dalam bentuk ruko standar yang siap pakai. Makanya sekarang Mas lagi nyari-nyari designer interior gitu, untuk bantu ngatur ruangan supaya sesuai dengan yang Mas mau."
"Kenapa dengan Mas Gilang?"
Setahu Maira, Gilang adalah taman seangkatan Haikal saat kuliah dulu. Hanya saja keduanya berbeda jurusan. Haikal di peternakan, sedang Gilang mantap dengan teknik arsitektur. Keduanya akrab karena sama-sama memiliki hobi yang mampu mengundang decak kagum. Menghabiskan sore, untuk sekadar mengajari baca tulis para anak-anak yang terlantar di jalanan.
"Dia pindah ke luar kota sekarang. Mas ogah bayarin hotel dan transportnya kalau Mas maksa pakai jasanya dia," keluh pria itu sembari bermanuver ke kiri.
"Ouh, memang Mas Kal pengen bikin konsep kafe yang baru ini kayak apa?"
"Karena kafe yang pertama, terlanjur terkenal dengan kesan santai untuk nongkrong, sekarang Mas pengen ditambah dengan kesan hangat atau kalau mungkin malah resmi. Ruko kali ini ada tiga lantai. Jadi Mas pengen lantai bawah itu konsepnya sama dengan kafe yang pertama-- nongkrong sama temen. Dan lantai dua, Mas pengen lebih—apa ya—romantis. Sama pasangan, syukur alhamdulillah kalau mereka malah keluarga atau suami istri. Tapi bukan dalam bentuk privat room ya. Mas nggak mau lahan rejeki Mas jadi lahan 'iya-iya' pasangan lain."
Diana kembali tertawa kecil. Bibirnya yang merah melengkung cantik. Semua itu terlihat jelas dari kaca spion. Sembari mencuri dengar pembicaraan mereka, Maira berpura-pura memainkan ponsel. Otak dan telinganya lancang menyimak semua kalimat Haikal. Berakhir dengan rasa kekaguman yang tak tertahankan. Haikal tipikal pekerja keras, pun menyukai yang halal. Wanita mana yang tidak akan tertawan hatinya?
"Jadi gimana?"
"Ya sekarang lagi nyari designer yang baru. Atau kamu punya rekomendasi?"
"Ada dong."
"Siapa?"
"Maira. Bisa kan Dek?"
Spontan Maira memamerkan senyumnya dan menggeleng kaku. Ia tidak berminat terlibat proyek dengan ada Haikal di dalamnya. Lagipula Maira bukan seorang yang pro dalam hal mendesign. Ia hanya kebetulan bekerja di mana ia diharuskan berlaku kreatif. Diharuskan mampu memahami setiap keinginan klien untuk kemudian direalisasikan dalam bentuk nyata. Maira biasa dituntut tinggi, hingga hampir membuat pundaknya miring sebelah demi bisa mewujudkan ekspektasi itu. Dan kembali pada penunjukan dirinya sebagai--
"Jangan paksa dia. Ayo turun..."
Benar. Sejak lama seharusnya Haikal bersikap seperti ini; memandangnya sebelah mata; melupakan keberadaannya di saat pria itu asyik berkelakar dengan Diana. Ah, Maira mengumbar desah panjang. Melangkahkan kaki turun mengikuti gerak dua kakaknya yang lebih dulu keluar. Haikal berjalan beberapa langkah lebih awal. Diana, memperlambat laju, dan berakhir merangkul lengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta berselimut Tabu
SpiritualBeberapa part telah dihapus Maira menaruh perasaan pada 'kakaknya' sendiri. Tidak sanggup menahan, hingga akhirnya lepas pula pernyataan itu dari bibirnya. Segalanya kemudian berubah seratus delapan puluh derajat. Pria itu balas mencintainya. Hanya...