Baru saja meletakkan tubuhnya di kursi, Maira langsung dikerubungi teman-teman timnya. Siska duduk di meja sembari menatap ia sedikit sengit. Nina menarik kursi putarnya menjadi begitu dekat dengan Maira—dan tentu saja menatap ia tajam. Laily juga serupa, berdiri berkacak pinggang dan menatapnya tidak bersahabat. Akmal berbeda lagi. Pria itu sudah menyilangkan tangan di depan dada. Meski begitu, wajahnya tampak datar. Tidak seperti tiga gadis yang mudah terprovokasi ini.Maira mengumbar cengiran sebal. Ia merasa dituduh jadi tersangka tanpa tahu di mana letak berdosanya. Kalau mau mencari biang kerok, seharusnya bukan Maira. Tentu saja itu Dimas. Boss besar yang tidak profesional. Boss besar yang mencampurkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan.
"Santai, Oi," Maira mendesis. Mengibaskan tangan untuk membuat semua temannya menjauh. Setidaknya biarkan ia menghirup napas segar lebih dahulu. Polusi yang memenuhi jalanan membuat ia sesak napas. "Biarin aku istirahat bentar, baru kalian boleh ngomong sepuasnya. Panas ini. Menjauh, ih."
Baguslah, karena mereka semua masih mengerti bahasa indonesia. Namun itu hanya berlaku dalam jangka waktu sepuluh detik. Berikutnya, Siska, Nina, Laily, dan Akmal kembali mengerubunginya. Hasshh. Sabar Maira.
"Oke. Jadi boss Dimas ngapain aja?"
Semua teman kerja Maira menghela napas. Siska berdiri, dan seperti ingin memperagakan sesuatu.
"Pagi-pagi Boss Dimas datang. Cara membuka pintunya itu tidak elit sekali. Main dobrak saja. Lalu seperti ini...," Siska berkacak pinggang, menjelaskan apa yang terjadi kala itu. "Matanya melotot. Seperti sedang mengabsen kita satu per satu. Lalu saat tahu kalau formasi kita kurang. Boss Dimas langsung mendesis. 'Mana Maira?'. Gitu. Kan aku serem. Kamu sih. Pakai mangkir mulu."
Maira mengendikkan bahu tak acuh, "biarpun aku nggak ngantor. Aku tetep kerja kok. Aku punya meeting sama Lila. Survey gedung sama Tiara. Aku ngefixin gaunnya sherly. Aku juga udah ngefixin susunan acara sama Sherly dan MCnya. Wedding song juga udah fix."
"Boss Dimas nggak mau tahu," Akmal ambil suara. "Dia banting map pas aku jelasin kalau kamu tetap kerja mesti tidak ngantor. Katanya, jika seperti itu kalian kerja sendiri-sendiri. bukan kerja tim. Katanya banyak banget. Nggak enak semua pula. Karena aku sama yang lainnya cuma diem, jadilah boss Dimas cabut. Cabutnya juga nggak elit. Pakai banting pintu lagi. Padahal kalau pintu itu rusak, kan dia juga yang rugi."
"Pokoknya, semua ini gara-gara kamu, Ra." putus Nina mutlak. Itu pun masih diamini oleh semua kepala.
Maira mendengus, "kenapa jadi aku yang dikambinghitamkan?"
"Iyalah. Mentang-mentang diistemewakan sama boss, terus seenaknya sendiri nggak pernah ngantor."
Lihat, gara-gara kelakuan Dimas yang tidak pandai menutupi perasaan, sekarang Maira terlihat seperti karyawan yang hanya mengandalkan paras dan mungkin kerlingan menggoda. Kapan saja Maira diberi proyek lalu dibanjiri pujian, semua orang pasti akan menyangkut pautkannya dengan urusan pribadi. Bukan tidak mungkin persepsi ngawur teman timnya ini akan merebak hingga keluar.
"Bukannya gitu. Aku tidak pernah ngantor bukan karena merasa diistemewakan sama boss. Tapi memang benar-benar ada yang harus kuselesaikan di luar. Ah sudahlah. Kalian mana ngerti posisiku." Maira mendesah malas. Mengeluarkan map dari dalam tasnya. "Boss ada di ruangannya kan?"
"Adalah," sahut Nina masih ketus. "Dia selalu datang tepat jam 8. Emangnya kamu jam 10 baru datang."
"Aku ke florist dulu sih baru ke sini," sahut Maira enteng. "Sherly ingin memilih sendiri bucket bunganya, makanya dia minta aku temenin."
Semua tak lagi berkutik mendengar jawaban Maira. Masih acuh pada mati kutu seluruh temannya, lantas berlalu pergi. Tujuannya sudah barang tentu adalah ruangan boss besar. Di lantai paling atas. Bersebelahan dengan ruang meeting.
![](https://img.wattpad.com/cover/123016656-288-k696489.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta berselimut Tabu
EspiritualBeberapa part telah dihapus Maira menaruh perasaan pada 'kakaknya' sendiri. Tidak sanggup menahan, hingga akhirnya lepas pula pernyataan itu dari bibirnya. Segalanya kemudian berubah seratus delapan puluh derajat. Pria itu balas mencintainya. Hanya...