Tekad Baja

51 3 4
                                    

"Gila! Bapak tidak percaya kamu sehebat ini, zulkifli!" kata pak Masykur, guru olah raga sekaligus manejer kami dalam pertandingan tadi, sambil berlari ke arahku.

"Bagaimana bisa kamu mencetak 5 gol dalam satu pertandingan? Wah kamu benar-benar hebat!". Tambahnya lagi sambil menepuk pudakku saking senangnya.

Kami baru saja melakoni laga perdana di tornamen sepak bola yang diadakan universitas UIN Ar-Raniry. Tornamen ini diikuti oleh seluruh kampus dan beberapa sekolah smu yang ada di Banda Aceh. Kami berhasil mengalahkan SMU 3 dengan skor telak 7-2. Aku sendiri mencetak 5 gol, sedangkan 2 lagi di cetak oleh Andi, gelandang serang terbaik kami. Dialah selalu yang dengan briliannya mencari celah supaya bola sampai ke kakiku. Karena kami teman dekat, dia sudah tau persis gaya dan pergerakanku. Walaupun kadang-kadang dia agak bandel juga. Gimana tidak bandel coba, tadi aku sudah berada dalam posisi kosong tapi dia malah tidak mengoper bolanya kepadaku. Dia coba lewati dua pemain lawan kemudia mencetak gol sendiri. Kemudian dia berlari ke arahku sambil berkata, "Sudah lama aku gak cetak gol bro, sory lah....”. Itulah Andi. Orangnya susah diatur. Tapi aku suka dengan pribadinya. Orangnya cerdas dan sangat humoris. Tiada hari tanpa bercanda kalau sudah ketemu dia.

Sudah satu semester aku tidak pernah bermain bola dalam sebuah pertandingan resmi seperti hari ini. Ternyata aku merasakan telah banyak kemajuan yang bertambah dalam diriku. tadi aku berhasil mencetak 5 gol tanpa mengalami kesulitan sedikitpun. Karena selama ini aku memang telah belajar bagaimana cara dribl bola yang baik, cara melepaskan diri dari jebakan offside, dan bagaimana melakukan finishing akhir yang sempurna. Dan aku tidak merasa bangga sama sekali dan menganggap itu hal yang wajar. Karena aku yakin seandainya tadi beknya sekelas Ramos dan Pique, belum tentu aku dapat mencetak satu gol pun. Itulah selalu yang aku pikirkan. Makanya aku menganggap pertandingan seperti ini sebagai latihan sebelum nantinya aku berjumpa dengan pemain-pemain professional tingkat dunia. Mimpi gila yang harus ku raih!

Selesai pertandingan tadi kami sempat ke kantin sekolah untuk minum sambil ngobrol. Habis itu aku langsung pulang ke rumah. Di rumah aku melihat ibuku lagi sibuk memasak di dapur.

"Masak kuah apa hari ini buk?" Tanyaku.

"Masak sambal pakek ikan teri," jawab ibu, tangannya masih mengaduk-ngaduk dalam kuali. "Kamu itu, kalau sepak bola selalu gak pernah absen. Emang gak ada anak yang lain yang bisa main bola. Sesekali gak usah ikut main kenapa, belajar kayak abang dan adekmu". Tambah ibuku lagi.

"Aku ini yang terbaik di sekolah, gak ada yang lain yang bisa menggantikan aku dalam masalah bola!". Jawab ku sambil sedikit nyengir.

"Ah, kamu, sombong itu namanya. Tapi ingat pesan ibu, hati-hati kalau main bola. Kalau kakimu patah baru tau rasa kamu nanti. Bisa cacat kamu seumur hidup, tau?". Itu memang selalu pesan ibu setiap aku bermain bola. Aku bisa mengerti perasaan ibuku. Dan saya rasa hampir semua ibu juga khawatir anaknya cedera kalau main bola.

"Iya buk". Jawabku sambil beranjak pergi ke kamar mandi.

Ibuku memang kurang setuju dengan cita-citaku jadi pemain bola. Ibu suka aku jadi PNS kayak orang lain. Masa depannya lebih jelas, katanya. Tapi ayah malah menyerahkan semuanya kepadaku. "Terserah kamu mau jadi apa, yang penting kamu harus serius dalam mencapai cita-cita kamu. Jangan setengah hati. Kalau kamu suka main bola, jadilah seperti Messi. Jangan seperti pemain bola Indonesia, passing bola saja tidak beres". Begitu kata ayahku ketika itu. Cara berpikir ayah kulihat hampir sama dengan paman Ahmad. Ayah kadang-kadang juga suka nonton bola. Klub favoritnya tidak pernah berubah dari dulu, Barca. Sedangkan aku dan paman Ahmad adalah madridista.

The True (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang