Sudah satu bulan aku tidak bermain bola lagi. Kawan-kawan semua sangat menyesali keputusanku, terutama sekali Andi. Andi tahu kalau aku sangat cinta dan gila dengan sepak bola. Aku menjelaskan kepada mereka bahwa aku melakukan ini untuk kebaikan ibuku. Aku tidak mungkin membuat ibu sedih dan khawatir lagi. Akhirnya mereka semua bisa memaklumi keputusanku.
Tiap hari aku hanya menghabiskan waktu di rumah dan di pustaka wilayah untuk membaca. Kadang aku keliling seluruh toko buku yang ada di Banda Aceh untuk memburu buku-buku terbaru. Tak ada toko buku di Banda Aceh ini yang aku tak tahu tempatnya. Aku bisa menghitungnya satu persatu beserta nama tokonya. Di dunia ini ada tiga tempat yang paling kucintai. Mesjid, pustaka dan toko buku. Tiga tempat itu merupakan taman ilmu.
Aku masih ingat perkataan Dr. Aidh al Qarny dalam salah satu bukunya tentang pentingnya membaca. Kata beliau, orang-orang Barat ada yang menghabiskan waktu satu hari 12 jam untuk membaca. Kemudian beliau berkata jika kita sekarang umat Islam tidak mau membaca, maka siapa lagi yang akan membaca. Aku sangat termotivasi dengan kisah-kisah ilmuan dan ulama dulu yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membaca dan menuntut ilmu. Bahkan ada diantara mereka yang tidak sempat nikah saking sibuknya dengan ilmu. Sebut saja dua ulama besar Islam yaitu imam Nawawy dan Ibnu Taimiyah.
Hari ini di kelas aku merasa sangat mengantuk. Dengan susah payah aku berusaha menahan agar mataku tidak terpejam. Kalau sampai aku tertidur bisa kena jewer aku sama ibu Nur Mala. Aku berusaha tetap fokus mendengar buk Mala mengajar bahasa Indonesia. Aku ngantuk karena bergadang semalam. Ternyata aku masih belum bisa meninggalkan laga El Clasico. Aku memang sudah tidak bermain bola lagi, tapi masih tetap juga sesekali menonton bola.
Semakin kutahan semakin kuat pula rasa kantuk menyerang. Rasanya seperti ada makhluk kecil tak kasat mata yang menarik-narik bulu mataku agar mataku segera terpejam. Kali ini rasanya aku tak tahan lagi dan aku harus siap terhadap resiko apapun yang akan diberikan ibu Mala..
“Assalamualaikum, Zulkifli tolong ikut bapak ke kantor sebentar. Ada tamu dari Jakarta ingin bertemu denganmu!” suara pak Sulaiman yang berdiri di pintu kelas membuat aku terkejut. Seketika itu juga rasa kantukku hilang.
Dengan penuh keheranan aku berjalan menuju kantor sekolah. Tamu dari Jakarta? aku memang punya paman di Jakarta, tapi gak mungkin sengaja datang dari Jakarta hanya untuk bertemu denganku.
Di kantor dua orang dengan jas hitam sedang duduk di kursi menungguku. Mereka langsung berdiri menyambut kedatanganku dan menjabat tanganku.
“Perkenalkan saya Anton” Ucap pria bertopi hitam itu.
“Dan saya Aris. Kami utusan dari pihak timnas Indonesia U19” kata pria berambut pendek satu lagi.
“Kamu Ibarahimovic Indonesia di youtube itu, kan?” Tanya pak Anton mengagetkan ku. Utusan timnas? Gila! ini tidak mungkin.
“Bukan! aku Zulkifli…” jawabku dengan cepat.
“O, nama kamu Zulkifli! Jadi begini dek zul. Kami sudah melihat skill amazing kamu di youtube. Kamu benar-benar memiliki bakat yang sangat hebat. Maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk mengajak kamu ikut seleksi masuk timnas U19” Pak Anton menjelaskan maksud kedatangan mereka.
“Melihat kehebatan skill dan tendangan kamu di youtube itu, kami yakin peluang kamu untuk lolos sangat besar. Kalau aku punya wewenang dalam hal ini, dek Zul, aku akan langsung merekrut kamu tanpa harus mengikuti seleksi. Tapi kamu tahu sendiri kan, prosedurnya memang harus begitu. Tapi kamu, jagan khawatir, kami yakin sekali kamu bisa lolos. Dan kamu akan menjadi penyerang yang hebat bagi timnas kita!”. Penjelasan bang Aris ini semakin membuat aku mengerti apa yang sebenarnya aku hadapi sekarang. Mimpi itu. Jalanku menuju the impossible dream semakin terbentang di depan mataku. Tidak! Janjiku pada ibu untuk tidak bermain bola lagi harus tetap ku pegang.
“Sebenarnya saya sangat senang atas permintaan untuk ikut dalam seleksi timnas. Itu merupakan sebuah kehormatan bagi saya. Tapi saya mohon maaf dengan sangat besar, karena saya tidak bisa memenuhi panggilan timnas. Beberapa minggu yang lalu aku telah memutuskan untuk berhenti main bola…” Ucapku dengan penuh penyesalan.
“lho, kenapa kamu berhenti main bola, apa sebabnya?” Tanya pak Anton kecewa.
“Aku trauma dengan cidera yang kualami saat pertandingan terakhir beberapa waktu yang lalu. Jadi tolong jangan paksa aku main bola lagi. Aku mohon maaf, aku harus segera masuk ke kelas lagi.” Aku langsung beranjak pergi dan membiarkan utusan dari timnas itu berdiri mematung penuh kebingungan. Aku tidak boleh ragu lagi. Aku harus mengubur hidup-hidup mimpi gilaku itu. Walaupun masih hidup di pikiranku, aku harus melupakannya.
Jam istirahat Nurul dengan tergesa-gesa menemuiku di pustaka sekolah.
“Apakah kamu menolaknya, zul?” Nurul bertanya kepadaku dengan nada setengah membentak. Wajahnya merah karena menahan marah.
“Menolak apa?” Aku balik bertanya heran, bagaimana dia bisa tahu.
“Tamu dari Jakarta itu pasti utusan dari timnas kan? Dan dari wajahmu aku tau bahwa kamu pasti menolak tawaran untuk ikut seleksi dengan timnas tadi. Aku tahu kamu melakukan ini karena ibumu. Zul, kesempatan ini tidak akan datang dua kali. ini kesempatan kamu untuk menjadi pemain bola professional yang kamu cita-citakan selama ini. Aku yakin kamu pasti punya cara untuk membuat ibumu agar mengizinkanmu bermain bola lagi. Kamu juga akan bisa membuat ibumu bangga. Kamu akan jadi pahlawan sepak bola Indonesia. Kumohon terimalah panggilan timnas itu, Zul…” Aku hanya memandang wajah Nurul dengan penuh keheranan. Kenapa dia tiba-tiba begitu peduli dengan diriku. Nurul satu-satunya anak cewek di kelasku yang suka nonton bola. Apa karena alasan itu ia bersikap berlebihan begini kepadaku. Atau apa yang dikatakan Ayu itu benar, Nurul cinta mati kepadaku? Ah, itu tak masuk akal.
“Sudahlah Nurul, aku tidak bisa merubah keputusanku ini. Aku sudah tidak ada niat lagi untuk main bola!” Aku kembali melanjutkan bacaanku yang sempat kuhentikan karena kedatangan Nurul.
“Kamu benar-benar keterlaluan, Zul! Tidak pernah mau mendengar saran dari orang lain. Dan kamu... selalu mengecewakan aku!” kini wajahnya berubah dari marah menjadi sedih. Kemudian dengan wajah penuh kecewa dan sedih nurul berbalik dari mukaku dan segera meninggalkan pustaka.
Aku masih duduk kaku dalam pustaka, mataku menatap kosong keluar ruangan. Teringat kembali kata-kata terakhir yang Nurul ucapkan. Berapa kali aku sudah bersikap tak peduli setiap kali dia mendekatiku. Apakah aku terlalu kejam terhadap Nurul selama ini? Apakah hatiku terbuat dari batu? Tidak juga. Sebenarnya aku hanya menjaga jarak dengan wanita, dan itu kulakukan masih dalam batas yang wajar. Mungkin, hanya Nurul saja yang berpikir berlebihan.
Sebelum pulang aku sengaja menunngu Ayu di parkiran sekolah. Ini saat yang tepat untuk memberikan surat itu kepadanya. Begitu melihatku, Ayu mempercepat langkahnya menuju ke arahku. Tanpa berkata sepatah kata pun aku segera memberikan sebuah buku kecil kepada Ayu. “Ketika Hamka Berbicara tentang Perempuan”. Semoga Ayu menyukai bukunya. Yang lebih penting, semoga Ayu menerima isi dari suratku.
******

KAMU SEDANG MEMBACA
The True (Sudah Terbit)
عشوائيKawan, izinkanlah kupinjam penglihatan kalian sejenak untuk membaca novel sederhana ini... Ini tentang cita-cita besar seorang remaja.... Tentang cinta rumit nan unik... Tentang kerja keras dan tekad baja.... Tentang kisah para pendekar ilmu.... Ten...