Mimpi yang Mustahil

36 2 0
                                    

Aku terbangun ketika mendengar lantunan ayat-ayat suci itu. aku mendengar sebuah suara yang sangat tidak asing bagiku. Suara ibuku yang penuh kekhusyukan membaca surat al Fatihah di sampingku. Ku coba untuk membuka mata. Langit-langit berwarna putih. Aku sudah tau sekarang berada di mana. Rumah sakit.

“Al hamdulillah! Kamu sudah sadar nak?”. Ucap ibuku lirih. Kulihat wajah ibu sangat sedih. Bekas air matanya masih membekas di pipinya.

“Apa yang terjadi dengan ku, buk, aku sakit apa buk?” Tanyaku lugu. Aku masih merasakan kepalaku yang pening. Badanku juga tarasa masih sangat lemah untuk bergerak.

“Kamu mengalami geger otak karena terjatuh di pertadingan sepak bola tadi pagi. Nak, sudah berapa kali ibu bilang, jangan pernah bercita-cita jadi pemain sepak bola. inilah yang selalu ibu khawatirkan. Ibu sangat khawatir dengan keadaanmu tadi, ibu takut terjadi apa-apa denganmu…” Jawab ibu sambil berusaha mengusap matanya. Kulihat air mata ibu masih membasahi wajahnya yang teduh itu.

“Zul, ibu berharap kepadamu dengan sangat, jangan pernah main bola lagi setelah ini. Ini demi kamu dan ibumu. Apa kamu ingin ibu meninggal karena sakit jantung melihat keadaanmu seperti ini. Zul, kamu dengar ibu?...” Aku tidak tahan mendengar rintihan ibuku mengiba seperti ini. Aku merasakan hatiku sangat sedih. Aku telah membuat ibuku tersiksa oleh perbuatanku. Hatiku luluh oleh rintihan kasing sayang ibu kepadaku.

Seketika terbayang di depan mata cita-cita besarku selama ini. Aku merasakan mimpi itu semakin mustahil. Mimpi yang selama ini telah ku bangun dengan semangat baja dan kerja keras. Mungkin inilah saatnya aku harus berhenti melangkah mengejar mimpi yang memang benar-benar tidak mungkin terwujud. Aku merasa rumput hijau Santiago Bernabeu itu semakin mengering dan hancur di terbangkan badai dalam impianku. Oh, haruskah aku berhenti demi ibuku??? Aku semakin bingung…

Aku hanya diam. Tidak menjawab pertanyaan ibuku. Aku memejamkan mata. Hatiku bingung. Aku tidak mungkin mendurhakai ibu dan membuatnya sedih. Tapi haruskah aku berhenti mengejar cita-cita besarku itu?  Ya Allah, aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Tunjukkan aku jalanmu...

Ku lihat jam di dinding menunujukkan pukul 9 malam. Berarti aku sudah pingsan selama kurang lebih empat jam. Sekarang, samar-samar aku baru ingat kembali insiden mengerikan tadi sore, aku terjatuh sangat keras di lapangan akibat tekel itu, dan aku langsung pingsan tidak sadarkan diri. Aku pun tidak tau lagi apa yang terjadi di lapangan setelah kejadian itu. Hingga sekarang aku tidak tau, apakah kami menang atau kalah dalam laga final tadi pagi. Sekarang aku hanya ingin istirahat. Tubuhku masih sangat lemah.

“Kata dokter kamu di suruh istirahat dulu. Jangan terlalu banyak pikiran. Nanti sore baru diperiksa lagi. Katanya kepalamu harus dirontgen dulu untuk memastikan adanya pendarahan atau tidak”. Kata ibu menjelaskan sakitku. Aku hanya mengangguk lemas.

******

Aku menunggu hasil rontgen dengan hati yang cemas. Aku berusaha bersikap tenang terhadap apapun yang akan terjadi. Aku sudah siap. Yang aku pikirkan hanya perasaan ibuku. Jika terjadi pendarahan di kepalaku, ibu pasti akan sangat cemas dan sedih.

“Kami telah memeriksa…” dokter melangkah ke arah kami. Kemudian melanjutkan,

“Dia mengalami pendarahan ringan. Dan kami masih harus menunggu hingga besok. Jika pendarahannya tidak berkurang, maka tidak ada cara lain kecuali operasi!” . Aku memang sudah siap terhadap hasil seburuk apapaun. Aku hanya mengkhawatirkan perasaan ibu. Ibu kelihatan sangat tekejut mendengar hasil rontgen. Ku lihat ayah berusaha menenagkan ibu.

“Sabar bu, Insya Allah semuanya akan baik-baik saja!” kata ayah. Ku lihat abang dan adikku hanya berdiri mematung di belakang ayah. Wajah mereka semua memandangku dengan penuh iba.

The True (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang