Final

37 2 0
                                    

Esok paginya, aku kembali telat sampai ke sekolah. Kali ini alasanku ditolak mentah-mentah oleh pak Wardi. Pak Wardi kembali melihat jam tangannya.

“Kamu telat 20 menit hari ini, bukan 5 menit. Gak ada ampun hari ini buat kamu”

“Sumpah, pak, ban motorku kempes tadi” Itu pembelaanku yang terakhir. Pak Wardi masih menggeleng. Aku berusaha menoleh kiri kanan, berharap Ayu muncul kembali seperti waktu itu. Tapi harapanku hampa, tidak ada siapapun di jalan.

“Push up!” teriak pak Wardi.

“Berapa kali, pak, 20 saja pak, ya? Jangan 30 pak…”

“Push up 50 kali!”

“Hah?”

“30 kali itu untuk yang telat 10 menit. Cepat! lakukan sekarang, 50 kali! Atau kamu lebih memilih tidak usah masuk hari ini?”

”Jangan, pak… baiklah, saya push up saja 50 kali”

Dari kelas IPA, di banku paling depan sekali, Ayu menyaksikan aku dihukum oleh Pak Wardi. Beberapa kali, disela-sela hukuman push up, aku sempat melirik Ayu yang menutup mulutnya sambil matanya terus menikmati aku dihukum. Sial, apa anak perempuan itu sedang menertawakanku?

Aku memasuki kelas dengan penuh keringat.

“Kenapa kamu telat hari ini, Zulkifli?” tanya ibu Faridah, guru sosiologi kami.

“Ban motor saya kempes, buk” jawabku pasrah.

“Betul?” tanya ibu Faridah melihatku dengan ujung kaca matanya.

“Betu, buk. Kapan aku pernah bohong sama ibu?” jawabku agak putus asa.

“Baik, ibu percaya sama kamu. Silakan duduk”

“Baik, bu”

Untung jam pertamanya pelajaran Sosiologi. Ibu Faridah adalah seorang guru paling ramah dengan siswanya. Dan beliau sangat senang padaku, karena kamilah yang mengharumkan nama MAN 3 ini dengan sepak bola.

Sambil mendengarkan ibu Faridah menjelaskan pelajaran, aku mencoba mengedarkan pandanganku ke barisan cewek. Bangku depan yang biasanya tidak pernah absen hari ini kosong. Apa yang terjadi pada Nurul? Apa dia benar-benar sakit? Kalau benar dia sakit, maka sakitnya adalah sakit yang parah. Karena Nurul tidak pernah absen sebelumnya, bahkan dengan sakit ringan seperti demam dia masih pergi ke sekolah. Justru dia akan merasa sakit kalau sehari saja dia tak sekolah. Ini adalah hari pertama Nurul tak hadir ke sekolah. Aku kembali teringat mimpi mengerikan kemaren. Tidak, aku tidak boleh memikirkan lagi mimpi itu.

Aku tidak sabar menunggu berakhirnya jam pelajaran Sosiologi, karena ingin segera tahu kenapa Nurul tidak hadir hari ini. Aku berharap diantara kawan-kawan ada yang tahu kabar tentangnya ketika ibu Faridah nanti mengabsen nama kami semua.
Bel pun berbunyi, waktu ibu Faridah sudah habis. Kemudian ibu Faridah mulai mengabsen kami satu persatu. Di mulai dari nama Andi. Sampai pada nama Nurul.

“Nurul!”

Tidak ada yang menjawab.

“Mana anak kesayangan ibu, Nurul? Ada yang tahu? Izin atau sakit?” tanya Ibu Faridah, berharap ada yang memberikan keterangan.

“Gak tahu, bu”

“Baik, berarti kita kasih A”

Andi melirik ke arahku, meminta pendapatku. Aku mengangkat bahu, tidak tahu. Aku berharap anak itu baik-baik saja, dan semoga yang dikatakan Andi kemaren tidak benar. Cemburu? Heh, tak masuk akal.

Jam istirahat aku memilih menyendiri di pustaka sekolah. Ajakan Andi ke kantin kutolak halus. Ada buku yang harus kutamatkan hari ini, alasanku. Sebenarnya aku hanya ingin menenangkan diri sejenak sekarang, apalagi nanti sore kami akan menghadapi laga final. Aku harus berhenti khawatir tentang Nurul dan mimpi itu. Semua akan baik-baik saja. Kemudian aku mengambil buku secara acak yang ada di rak pustaka. Shaidul Khatir. Sebenarnya aku sudah pernah membacanya, tapi tidak salah jika aku membaca lagi. Buku ini memang memiliki renungan atau nasehat-nasehat bijak, yang sangat baik untuk kita ulang-ulang membacanya. Secara acak pula aku langsung membuka di tengah-tengah.

The True (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang