Epilog

66 2 2
                                    

Lima tahun berikutnya.

Langit kota paris sore ini cerah. Semilir angin membelai lembut rambutku. Aku masih menatap kagum menara Eifel di depanku. Eifel dengan rok panjang anggunnya masih tegak berdiri seperti tahun sebelumnya, ketika kakiku pertama kali menginjak bumi Eropa. Aku masih ingat bagaimana menara Eifel menyambutku penuh antusias ketika pihak klub PSG (Paris Saint German) secara resmi memperkenalkanku sebagai pemainnya tahun yang lalu.

Tanpa terasa aku telah menjalani satu musim yang hebat bersama salah satu klub terbaik Eropa. Mimpi gilaku bertahun-tahun yang lalu akhirnya tercapai. Walaupun aku sedikit kecewa, aku berharap waktu itu Real Madridlah yang meminangku. Aku masih bertekad menjadi yang lebih baik, hingga tahun-tahun yang akan datang bisa membuat petinggi Real Madrid tertarik untuk mendapatkan tanda tanganku.

Musim ini aku berhasil membawa PSG menjuarai liga 1 Perancis. Dan di liga Champion kami berhasil masuk semi final, sebelum akhirnya dikalahkan Bayer Munchen. Aku juga berhasil menjadi pemain terbaik liga Perancis musim ini. Apakah ini semua belum cukup bagi Madrid untuk memasukkan ku dalam daftar pembeliannya musim depan?

Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, aku harus segera berpamitan meninggalkan Eifel yang megah.

Baru berjalan tiga langkah aku terpaksa berhenti. Dua orang gadis berdiri mematung tepat satu meter di depanku. Yang satu memakai baju gamis hitam dan jilbab merah. Satu lagi gadis berkaca mata degan wajah menunduk memakai gamis biru dan jilbab hijau muda.

“Maaf, saya fans berat anda. Boleh saya minta tanda tangan?” Pinta gadis berkaca mata, wajahnya masih menunduk. Ia berbicara dalam bahasa Prancis yang fasih.

“Tentu saja boleh, dimana saya harus tanda tangan?” Tanyaku sambil senyum hangat. Kadang aku merasa malu, bahasa Prancisku masih belum fasih.

“Di sini...” jawab gadis berjilbab hijau muda itu sambil menyerahkan selembar foto. Aku tersentak kaget, itu adalah foto saat aku masih SMU. Foto ini diambil ketika aku masih berseragam klub sepak bola MAN 3. Aku langsung membalikkan bagian belakang poto tersebut, tulisan kecil rapi itu masih ada di sana. Hanya seorang saja yang mungkin masih menyimpan foto lama ini.

“Nurul?!”

Aku spontan berteriak pada gadis di depanku. Gadis itu pun kini sudah mengangkat wajahnya dan pada saat itu juga pandangan kami bertemu. Aku hampir tidak mengenalinya lagi karena kaca mata itu. Wajahnya tidak banyak berubah, tapi kaca mata biru itu membuat wajahnya semakin tampak dewasa. Sebenarnya dengan kaca mata di wajahnya Nurul semakin cantik. Klasik nan menawan!

“Bagaimana... apa yang kau lakukan di sini?” Aku langsung berubah bertanya dalam bahasa Indonesia. Aku tidak tahu apa yang harus kuucapkan, sehingga kalimat yang keluar malah jadi kacau. Nurul tidak menjawab, matanya mulai berkaca-kaca, kemudian tetesan bening jatuh di pipinya.

“Kok, kamu malah nangis?”

“Aku terharu, Zul. Akhirnya Allah mempertemukan kita kembali, justru dibawah menara Eifel yang megah ini.” Jawab Nurul sambil menyeka air mata dipipinya.

“Kau belum menjawab pertanyaanku Nurul, bagaimana kau bisa sampai disini?” Aku sungguh penasaran.

“Aku hanya menagih harapan yang telah kau janjikan waktu itu...”

“Harapan? Harapan yang mana Nurul, aku tidak pernah menjanjikan apa-apa padamu.” Jawaban Nurul semakin membingungkanku.

The True (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang