"Lily...!!"
Lily menoleh dan mendapati Juna setengan berlari ke arahnya. Saat itu mereka baru saja menyelesaikan ujian akhir dan sedang mempersiapkan upacara kelulusan. Namun Juna kelihatannya sudah bosan dengan sikap Lily yang kerap menghindarinya. Jadi Juna menunggunya di dekat lapangan basket sepulang sekolah, tahu bahwa Lily akan melewati lapangan itu untuk ke ruangan klub seni.
Sudah terlambat untuk berpura-pura tidak mendengar panggilan itu sehingga Lily menghentikan langkahnya. Namun ia tak bisa menyembunyikan emosinya dan membuat Juna semakin tak mengerti apa kesalahannya.
"Aku mau ngomong,"
"Ngomong aja," balas Lily ketus tanpa memandangnya. Matanya justru tertuju ke ring basket yang berdiri beberapa meter di depannya.
"Kamu kenapa sih?" tanya Juna.
"Kenapa apanya?"
"Beberapa bulan ini kamu menghindar. Kamu selalu pulang duluan dan kalaupun aku nggak ada rapat, kamu juga nggak mau dianter. Kalau aku ke rumah, kamu selalu suruh orang rumah bilang kamu nggak ada," cerocosnya panjang.
"Setiap kali aku tanya, kamu selalu jawab nggak jelas. Aku nggak tahu gimana caranya aku ngomong yang nggak bikin kamu ketus," lanjut Juna saat Lily masih diam saja. "Lily, aku nggak tahu aku bikin salah apa kalau kamu nggak bilang,"
"Nggak ada yang salah, Jun," jawab Lily singkat.
"Terus kenapa kelakuan kamu berubah jadi aneh?" tuntutnya.
"Udah, mau ngomong itu aja?" tanya Lily tanpa menjawab pertanyaan Juna.
Lagipula apa yang mau dijawabnya? Bahwa persahabatan mereka sudah rusak sejak kehadiran Hani? Atau bahwa Lily sudah tak lagi menganggapnya seorang sahabat?
"Kamu belum jawab pertanyaan aku," Juna menghadang langkahnya saat Lily beranjak pergi tanpa menjawab pertanyaannya. Posisi itu memaksa Lily menatap matanya, hal yang selalu dihindarinya akhir-akhir ini.
Namun menatap mata Juna membuatnya teringat akan Hani dan perempuan-perempuan setelahnya. Dan hal itu membuat emosinya tak tertahan lagi.
"Kamu mau tahu kenapa?" desis Lily marah.
"Karena kalaupun aku tunggu kamu sepulang sekolah, kamu nggak akan langsung nganter aku. Akan ada hani atau Dira atau Anita atau entah perempuan mana lagi yang lebih perlu prioritas kamu. Karena aku bosen setiap kali kita pulang bareng, kamu selalu jemput mereka dulu ke sekolah lain. Karena aku capek jadi nomor dua atau bahkan nomor tiga setelah mereka," lanjut Lily marah.
"Aku nggak pernah nganggap mereka lebih penting dari kamu," bantah Juna.
Di saat yang sama, ponsel Juna berbunyi dan di layarnya tertulis nama Nadia lengkap dengan foto mereka berdua yang berpelukan mesra.
"Kalau gitu buktiin," tantang Lily. "Buktiin dia nggak lebih penting daripada aku,"
Lily berharap Juna takkan menjawab telepon itu untuk meredakan amarah Lily. Tapi Juna ragu. Perhatiannya mulai terpecah oleh wajah di layar ponselnya. Pada akhirnya, Juna menjawab panggilan itu.
Hal itu membuat Lily semakin marah. Tangannya yang mencengkeram buku sketsa gemetar dan nyaris merobek kertas-kertasnya. Dan saat Juna memberikan penjelasan pada Nadia tentang mengapa Juna terlalu lama menjawab teleponnya, Lily beranjak meninggalkannya.
Namun Juna tak bisa terima Lily meninggalkannya, sehingga buru-buru menutup telepon dan mengejarnya kemudian menarik siku Lily agar kembali menghadapinya. Tarikannya yang terlalu kencang menghentakkan tangan Lily sampai buku sketsanya terjatuh.
YOU ARE READING
The Second Chance
RomanceMeski lebih dari sepuluh tahun berlalu, laki-laki itu masih tersenyum dengan cara yang sama, dan ia juga masih memperlakukan Lily dengan cara yang sama. Jika dulu Lily menyimpan perasaan untuk Juna, apakah saat ini hati Lily masih miliknya? - Eliana...