"Mommy, Mika mau ituuu!!" pekikan penuh semangat terdengar dari seorang gadis kecil di gendongan ayahnya. Telunjuk mungilnya terarah ke etalase toko pakaian anak yang cukup terkenal di sebuah mall di Jakarta. Saking semangatnya, sang ayah harus mempererat pelukannya karena tubuh mungil itu juga ikut maju ke depan mengikuti jari telunjuknya.
Lily tersenyum melihat gadis cantik yang kini berstatus sebagai anak tirinya itu. Ia masih belum benar-benar percaya, laki-laki yang begitu dicintainya sejak remaja, telah sebulan menjadi suaminya, sepaket dengan putri cantik dan putra yang tampan.
Zaynandra Dirgantara Dewanto, yang meskipun masih berusia tujuh tahun, namun tatapan matanya bisa sangat dingin membekukan. Sebuah kejadian yang seharusnya tak dialami oleh anak seusia itu membuat caranya memandang dunia berbeda dengan anak seusianya. Hanya pada orang-orang terdekatnya, Zayn bisa bersikap lebih santai. Terutama terhadap adiknya, Zayn bisa menjadi sangat protektif. Dan untungnya, Zayn bisa sedikit lebih membuka diri terhadap ibu tirinya. Lily hanya berharap suatu saat nanti anak itu berubah menjadi lebih hangat. Setidaknya, ada yang bisa membuatnya menikmati masa kecilnya seperti anak lain seusianya.
Mikaila Kirania Dewanto. Gadis kecil berusia empat tahun yang saat ini berada di gendongan ayanya, memiliki kepribadian berbanding terbalik dengan kakak yang berusia tiga tahun lebih tua darinya. Meskipun sangat pemalu dan tak mudah menerima orang baru, gadis kecil itu sangat ceria terhadap orang-orang yang dikenalnya dengan baik. Berada di antara keluarga Dewanto, gadis kecil itu memiliki fisik yang paling berbeda. Dilihat sekilas, takkan ada yang mengira Mikaila adalah putri keluarga Dewanto. Hanya orang terdekat yang akan menyadari kemiripannya dengan ayahnya saat ia tersenyum. Dan jika bukan memiliki fisik keluarga Dewanto, artinya Mikaila menuruni ciri fisik ibunya. Mendengar cerita suaminya, semoga saja gadis kecil itu takkan menuruni sifat ibu kandungnya juga.
"Mau itu, Mommy!" pekikan Mikaila menyadarkan Lily dari lamunannya.
Lily menoleh memperhatikan arah yang ditunjuk putri kecilnya. Dilihatnya etalase toko baju anak dengan merk terkenal menampilkan beberapa dress anak, yang terpasang indah di patung putih setinggi gadis kecilnya, termasuk gaun berwarna pink sepanjang lutut dengan renda dan tali spaghetti, persis seperti putri dalam dongeng yang jelas akan menarik minat gadis gadis kecil manapun yang melewati toko tersebut.
"Mika suka ini?" Lily menunjuk dress pink dari balik kaca toko tersebut.
"No, Mommy!" Mikaila meronta meminta sang ayah menurunkannya.
"Yang ini, Mommy!" gadis itu berlari mendekati etalase dan menunjuk gaun bermotif bunga di samping gaun berwarna pink tadi.
Baiklah, sepertinya Lily salah mengira selera anak ini. Ternyata tak seperti kebanyakan anak perempuan yang akan memilih gaun cantik berwarna pink yang bisa membuat mereka bak putri dalam dongeng, gadis kecilnya lebih memilih gaun yang lebih sederhana.
Namun sekali lagi Lily salah. Meskipun lebih sederhana, gaun bermotif bunga yang kali ini sudah terpasang di tubuh gadis kecilnya, kini terlihat jauh lebih cantik dibandingkan gaun lainnya. Mungkin karena si pemakai menuruni bakat ibu kandungnya dalam membuat pakaian apapun terlihat cantik saat dikenakan.
"Boleh ya, Mom?"
Lily tak langsung menjawab. Karena meskipun gaun bermotif bunga ini terlihat lebih sopan dengan lengan sepanjang siku, tetap saja di mata Lily masih ada yang salah.
"Kenapa, Sayang?" tanya Juna melihat istrinya diam saja tanpa menjawab pertanyaan Mikaila. Padahal putri kecilnya sudah memandangi ibu tirinya penuh harap.
Namun lagi-lagi Lily tak menjawab.
"Kenapa nggak boleh, Mom?" Zayn bertanya was-was. Terbiasa menuruti keinginan adiknya asalkan adiknya bahagia, Zayn mulai khawatir dengan reaksi ibu tirinya. Oom Adit bilang, Mommy Lily baik. Zayn juga bisa merasakannya saat pertemua pertama mereka. Tapi kenapa kali ini kelihatannya enggan sekali menuruti keinginan Mikaila? Padahal itu hanya sepotong pakaian yang Zayn yakin ayahnya bisa membelikannya.
"Bukan nggak boleh, Sayang," jawab Lily, kali ini sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh area toko tersebut. Dan saat matanya menemukan yang dicarinya, Lily langsung mengambil benda itu dan berjalan kembali ke arah keluarganya.
"How about pairing your dress with this pants?" berjongkok di hadapan Mikaila, Lily mencoba mengatakannya selembut mungkin, sambil membentangkan sebuah legging berwarna putih. "Mika nanti jadi lebih cantik pakai ini,"
"Beneran, Mom?"
Lily mengangguk mantap, membuat gadis kecil itu langsung memekik senang. Mikaila memang bukan anak kandungnya. Namun melihatnya gembira seperti itu membuat Lily diliputi kehangatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
***
"Tadi kenapa?" tanya Juna di sela-sela makan malam mereka.
Selepas sholat maghrib, Juna mengajak keluarganya makan malam mengingat sejak siang mereka belum mengisi perut selain jajan anak-anak.
"Maksud Mas?"
"Itu di toko baju tadi. Kamu nggak langsung kasih Mika beli baju tadi dan malah kelihatan nggak suka,"
"Aku cuma nggak cocok aja Mas, sama panjang bajunya. Mikaila perempuan, dan baju tadi terlalu pendek buat dia," jawab Lily.
"Tapi Mika masih kecil, belum wajib nutup aurat,"
"Memang belum wajib, tapi bukannya lebih baik kalau diajari dari sekarang. Biar nanti waktu Mikaila baligh, anak itu sudah terbiasa dan nggak sulit untuk menutup semua auratnya," Lily menjelaskan.
"Tapi kamu juga dulu sampai SMU belum pakai hijab kan?" balas Juna.
"Tapi sekarang aku tahu itu salah. Dan karena itu aku nggak mau anak kita mengulangi kesalahan yang sama,"
Juna terdiam merenungi kalimat itu. Tadi memang Juna sedikit tidak terima melihat Lily menggantungkan putrinya yang sudah sangat menginginkan gaun itu. Namun kalimat istrinya mengingatkan bahwa selama ini Juna sudah terlalu jauh hidup dengan cara yang salah, sementara istrinya selalu berusaha memperbaiki dirinya. Bodoh sekali kalau Juna terus mementingkan egonya sendiri.
Tapi sepertinya Lily salah mengartikan keterdiaman suaminya. Hingga wanita itu hanya mendesah pelan seraya meletakkan sendok dan garpunya di piring yang sudah nyaris kosong.
"Aku cuma mencoba pelan-pelan membiasakan Mikaila menutup auratnya dan nggak nyuruh pakai hijab dari sekarang. Maaf kalau Mas nggak suka,"
Juna mendongak bingung mendengar penuturan istrinya. Menyadari arti kalimat Lily, Juna seketika dihantam rasa bersalah.
"Kenapa minta maaf? Kamu nggak salah,"
"Nggak apa-apa, aku tahu bukan tempatku untuk ngatur anak-anak," Lily mencoba menahan desakan air mata yang berlomba-lomba untuk keluar.
Melihat istrinya menunduk sedih, Juna mengutuk dirinya sendiri. Baru sebulan mereka menikah dan Juna sudah menyakiti hati Lily.
"Jangan minta maaf, di sini aku yang salah,"
"Tapi biar bagaimana pun, mereka bukan..."
"Stop!" Juna mencoba menghentikan kalimat bodoh yang nyaris keluar dari mulut cantik istrinya.
"Mereka anak-anak kamu. Kamu ibu mereka. Kalau bukan kamu yang berhak ngatur mereka, siapa lagi?" Juna meraih tangan istrinya, mencoba membuat Lily menatapnya.
"Aku terbiasa nurutin maunya anak-anak, jadi tadi sempat sedikit nggak terima kamu nggak mau langsung nurutin Mika. Aku terlalu manjain anak-anak sampai nggak sadar bahwa memanjakan anak juga ada aturannya,"
"Jangan sedih, aku minta maaf," bujuk Juna lagi.
Dan tak perlu jawaban, ketika senyum kecil terbit di bibir istrinya Juna tahu dirinya dimaafkan.
YOU ARE READING
The Second Chance
RomanceMeski lebih dari sepuluh tahun berlalu, laki-laki itu masih tersenyum dengan cara yang sama, dan ia juga masih memperlakukan Lily dengan cara yang sama. Jika dulu Lily menyimpan perasaan untuk Juna, apakah saat ini hati Lily masih miliknya? - Eliana...