Lily memejamkan matanya saat ciuman Juna makin dalam. Ini bukan pertama kalinya mereka berciuman mengingat status pernikahan mereka. Tapi entah mengapa ciuman kali ini terasa jauh lebih emosional dibandingkan saat pertama mereka.
Mungkin karena beberapa saat setelahnya Lily merasakan pipinya basah ditambah dengan pelukan Juna yang semakin erat. Tapi air yg membasahi pipinya bukan miliknya atau bahkan air hujan. Karena langit di atas mereka terlihat cerah penuh bintang.
"Mas kenapa?" tanya Lily menyadari suaminya menangis.
Tapi suaminya itu tak menjawab dan justru memeluknya begitu erat. Bahunya bergetar seiring isak tangisnya yang semakin keras.
Kedua kaki Lily melayang lebih tinggi, tak lagi berada di atas kaki Juna. Laki-laki itu mengangkatnya untuk mensejajarkan tubuh mereka dan meyamankan posisi dagunya di pundak Lily.
Tak tahu apa yang terjadi, Lily hanya mengusap rambut suaminya sampai tangisnya mereda. Tadi Juna membuainya dengan sebuah lagu dan ciuman, detik berikutnya Juna menangis. Sebenarnya apa yang sudah dilakukannya sampai suaminya jadi seperti ini?
"Makasih, Sayang," ucap Juna dengan suara serak setelah menurunkan istrinya ke tanah namun masih memeluknya. "Dan aku minta maaf,"
Lily berusaha menjauhkan dirinya agar bisa melihat wajah suaminya. "Makasih buat apa? Minta maafnya juga buat apa? Aku nggak ngerti,"
Juna masih belum menjawab karena masih berusaha menenangkan dirinya.
"Mas lihat aku," Lily membujuk Juna yang masih menunduk seolah tak berani menatapnya. "Mas kenapa?"
"Makasih, karena sudah jadi ibu buat anak-anak aku,"
"Maksud Mas?"
Juna menuntun istrinya ke bangku taman dan mendudukkannya di sana. "Kamu tahu, Zayn apalagi Mikaila nggak pernah ngerasain kasih sayang ibu dari kecil. Ibu kandung mereka nggak pernah cium atau sekedar ngobrol sama mereka sebelum tidur,"
"Pernah satu kali guru di sekolahnya meminta Zayn menggambar sosok ibu. Yang ada di gambar Zayn cuma sosok ibunya dari belakang sambil menyeret koper karena hanya punggung ibunya yang membekas di otaknya,"
"Tapi tadi aku lihat gimana kamu ngajarin dan bimbing mereka untuk wudhu dan berdoa sebelum tidur. Mereka ingin punya ibu yang mau peluk atau selimutin dan cium mereka sebelum tidur, tapi mereka justru dapat yang lebih dari itu. Bentuk kasih sayang kamu jauh melebihi apa yang seharusnya diberikan ibu kandung mereka. Kata terima kasih nggak cukup untuk menggambarkan rasa syukur aku karena Allah mengembalikan kamu ke hidupku lagi,"
Lily meraih tangan suaminya dan meremasnya lembut. Ia tak pernah memikirkannya seperti itu karena memang sudah jatuh cinta pada anak-anak itu sejak pertemuan pertama. Semua yang dilakukannya adalah caranya mencintai anak-anak itu.
"Mas, mereka anak-anak aku juga sekarang. Aku sayang sama mereka. Dan itu memang caraku buat mencintai mereka,"
"Aku tahu. Aku bisa lihat kalau mereka ngerasain kasih sayang kamu. Dan karena itu aku semakin ngerasa bersalah,"
"Maksud Mas?" Lily makin bingung dengan arah pembicaraan mereka.
Juna memutar duduknya menghadap istrinya dan balas meremas tangan kecil itu lebih kencang.
"Aku pernah nyakitin kamu dan nggak pernah bener-bener minta maaf," Juna menarik nafas panjang sejenak. "Dulu aku ninggalin kamu setelah nyakitin kamu dan kamu masih mau kasih anak-anakku rasa cinta yang sangat besar,"
"Kalau aku memikirkannya seperti itu, di sini rasanya sakit banget" Juna menyentuh dada kirinya seraya menempelkan dahinya ke dahi istrinya.
"Kalau gitu jangan dipikirkan seperti itu," balas Lily seraya memegang kedua pipi Juna. "Aku ada di sini karena aku udah maafin apapun kesalahan Mas,"
"Seandainya dulu aku nggak ninggalin kamu dan berusaha perbaiki hubungan kita, kamu nggak akan sakit hati dan anak-anak nggak akan tumbuh tanpa kasih sayang ibu,"
Lily menjauhkan wajahnya dengan kedua tangan tetap di wajah suaminya.
"Berhenti mikir seperti itu, Mas, istighfar. Kata 'seandainya' itu sama aja Mas menyesali jalan yang Allah kasih buat kita," Lily mengingatkan.
"Sekarang yang terpenting kita syukuri semuanya dengan kasih yang terbaik buat anak-anak,"
Juna menatap istrinya lama, meresapi kalimat bijak itu yang menyadarkannya dari kesalahan besar berburuk sangka pada Sang Pencipta. Juna beristighfar dan berdoa dalam hati agar bisa selamanya berada di samping wanita di hadapannya ini. Berdoa agar sampai maut memisahkan mereka, hanya wanita ini yang akan berada di sisinya dan anak-anak, mendukung dan memberi mereka kasih sayang.
Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata lain yang menitikkan air mata melihat adegan itu. Tangis bahagia yang juga dirasakan oleh laki-laki berbeda generasi yang berdiri di sampingnya dan merangkulnya.
Setelah sadar malam makin dingin, Adit menggiring mamanya yang masih menangis bahagia untuk masuk kembali ke kamarnya. Kakaknya beserta anak-anak sudah berada di tangan yang tepat dan sudah saatnya wanita di sampingnya ini berhenti mengkhawatirkan mereka.
YOU ARE READING
The Second Chance
RomanceMeski lebih dari sepuluh tahun berlalu, laki-laki itu masih tersenyum dengan cara yang sama, dan ia juga masih memperlakukan Lily dengan cara yang sama. Jika dulu Lily menyimpan perasaan untuk Juna, apakah saat ini hati Lily masih miliknya? - Eliana...