"Mobilnya sudah siap, Pak," Chandra, asisten pribadi yang merangkap sebagai sekretarisnya, mengetuk pintu Juna dan langsung masuk saat dipersilahkan.
"Ok, sebentar lagi saya turun. Kamu udah makan?"
"Belum, Pak, saya baru selesai sholat,"
Inilah yang disukai Juna dari laki-laki yang lima tahun lebih muda darinya itu. Chandra selalu mendahulukan ibadahnya dibandingkan hal lain. Laki-laki itu juga pandai dan sangat cekatan mengerjakan apapun.
Saat ini, satu-satunya orang di perusahaan yang tahu mengenai pernikahannya adalah Chandra. Karena kemarin Chandra yang membantunya membatalkan seluruh pekerjaan hari itu. Chandra juga yang mewakilinya untuk menghadiri beberapa rapat yang tak bisa dibatalkan. Juna cukup mempercayainya untuk itu karena loyalitasnya.
"Ya udah, nanti kamu makan siang di kantor istri saya saja. Tapi mungkin harus makan di kantin basement, nggak apa-apa?"
"Alhamdulillah Pak, saya biasa makan di warteg," Chandra nyengir.
Juna tertawa menanggapinya. Mudah sekali memang bekerja dengan laki-laki ini.
"Dokumen udah siap?"
"Sudah, Pak," Chandra mengacungkan map di tangannya.
Juna tersenyum puas dan berjalan keluar ruangan diikuti Chandra dengan berkas-berkasnya.
Sesampainya di gedung tempat Lily bekerja, Juna menyuruh Chandra untuk lebih dulu ke kantin untuk makan siang, sementara ia menghampiri istrinya yang sedang duduk di loby. Diperhatikannya wajah istrinya yang kelihatan bingung menatap sekitarnya. Bahkan saat Juna mengucapkan salam, Lily tidak langsung menjawabnya, seolah tak menyadari kehadirannya. Saat Juna bertanya, Lily tidak menjawabnya dengan jelas, malah menarik tangannya untuk makan siang.
Di dalam lift, ada beberapa karyawan yang berdiri berkumpul dan berbisik-bisik. Lagi-lagi Lily tak menghiraukannya. Namun saat bisikan itu mulai samar terdengar dan mereka mulai menunjuk-nunjuk istrinya, Juna tak bisa menahan lagi kesabarannya.
"Nggak nyangka, Bu Lily hamil duluan,"
Nyaris saja Juna berbalik untuk memperingatkan kedua gadis itu, tak perduli mereka perempuan. Namun Lily langsung mencengkeram tangan suaminya.
"Biar aku aja, Mas," gumam Lily sambil menunggu lift terbuka dan mereka semua keluar.
Sesampainya di luar lift, Lily dengan tegas memanggil kedua gadis itu dan mau tidak mau mereka menoleh. Bagaimanapun wanita yang memanggil adalah atasan mereka.
"Gita, tadi kamu bilang apa di lift?"
"I-ibu..." Gita, salah satu gadis yang bergunjing tadi, tergagap. Temannya ikut gugup menyadari atasan mereka mendengar mereka bergosip tadi.
"Siapa yang bikin gosip seperti itu?" cecarnya.
Mereka terdiam. Pasalnya, gosip itu mereka dapat dari orang terdekat Lily, yang juga senior mereka.
"Saya tau bukan kalian yang pertama kali buat gosip. Dan saya juga nggak akan marah kalau kalian jujur. Kalian tau kan, kalau saya nggak suka karyawan nggak jujur?"
"I-itu, Bu..." mereka makin gugup dan saling lirik. Sepertinya tak mungkin menghidari menjawab atasan mereka. Itu sama saja bunuh diri.
Lily bukan orang yang mudah marah. Baginya, permasalahan takkan selesai dengan emosi tinggi. Justru sebaliknya jika ada salah satu staf melakukan kesalahan, Lily lebih suka membimbingnya sampai ia bisa.
Tapi justru di situ letak ketakutan mereka. Karena orang yang tak mudah marah akan lebih mengerikan jika sudah dibuat emosi.
"I'm waiting..." desak Lily.
"I-itu... Mbak Nisa, Bu," jawab gadis itu akhirnya.
"Nisa?"
"I-iya, Bu," jawab Gita, sementara temannya yang lain ikut mengangguk-angguk.
"Mbak Nisa bilang, Ibu dan Bapak baru saja ketemu, tapi tiba-tiba sudah menikah saja. Katanya pasti Ibu sudah hamil duluan makanya nikahnya buru-buru," jelas Gita.
"Dan kalian nggak tanya apa-apa sama saya malah langsung ikutan nggosip?"
"Ma-maaf, Bu, kami pikir karena selama ini Mbak Nisa yang paling dekat sama Ibu, ucapan Mbak Nisa bisa dipercaya,"
"Terus menurut kalian nggak apa-apa dijadikan bahan gosip?"
Gadis-gadis itu terdiam tak menjawab lagi. Tiba-tiba saja mereka menyadari kesalahan mereka. Bukan soal gosip itu benar atau tidak, tapi dengan menyebarkannya pada orang lain membuat gosip yang belum jelas menjadi dipercaya kebenarannya.
"Saya memang baru saja ketemu lagi dengan laki-laki yang sekarang jadi suami saya semenjak kami lulus SMU," lanjut Lily saat kedua gadis itu terdiam. "Dan iya, kami nggak perlu menunggu lama untuk menikah. Bukan karena saya hamil. Tapi karena saya lebih suka berpacaran setelah menikah,"
"Mungkin prinsip saya nggak bisa diterima di zaman sekarang. Mungkin menurut kalian berpacaran dulu sebelum menikah lebih make sense. Tapi buat kami berpacaran terlalu lama sebelum menikah itu hanya akan jadi kubangan dosa,"
"Jadi kalau kalian masih punya prinsip seperti itu, lebih baik kalian pikir ulang, mana yang lebih berharga, pendapat orang lain atau kehormatan kalian sendiri,"
Kedua gadis itu menunduk makin dalam. Sebenarnya dalam hati mereka juga tidak percaya. Dengan sikap atasan mereka selama ini, tak mungkin wanita sholehah itu melakukan seperti yang dikatakan Nisa.
"Maafin kami, Bu," ucap mereka sungguh-sungguh menyesal.
Lily hanya terdiam dan meninggalkan mereka berdiri di sana. Tanpa sadar jemarinya mengepal erat menahan marah.
Sungguh, ia sangat kecewa. Gadis ceria yang sudah ia anggap adiknya sendiri itu tega memfitnahnya hanya karena mencintai laki-laki yang sudah menjadi suaminya.
Saat Lily sedang terduduk lemas di salah satu bangku, tiba-tiba ada tangan yang menarik pergelangan tangannya. Dengan lembut Juna membuka jemarinya yang terkepal erat. Ternyata tanpa sadar kukunya sudah menancap di telapak tangannya. Untung saja kukunya selalu pendek dan rapi sehingga hanya meninggalkan bekas merah.
"Istighfar, Sayang," jemari Juna terus mengusap telapak tangannya lembut tanpa perduli tanggapan orang lain yang melihatnya duduk di atas meja di hadapan Lily.
Lily menurut, ia tak ingin setan menguasai dirinya dan membuatnya menyakiti orang lain.
"Dia nggak punya hak ngelakuin ini, Mas," ucap Lily lirih meski masih menyisakan kemarahan di dalam suaranya.
"Aku tahu," jawab Juna pelan tanpa perduli beberapa orang mulai memperhatikannya yang duduk di atas meja.
Beberapa orang mulai bertanya-tanya, mengapa wanita berhijab yang selama ini tak mau bersentuhan dengan laki-laki, saat ini terlihat tenang saja ketika tangannya digenggam lawan jenisnya.
"Maaf, aku yang salah karena maksa kamu untuk cepat-cepat menikah,"
"Bukan salah kamu, Mas. Hal seperti itu memang harus disegerakan. Nisa aja yang keterlaluan,"
Juna menatapnya lama. Ia bingung harus bagaimana menghibur wanita yang saat ini sudah sah menjadi istrinya itu.
Dulu memang Lily lebih tergantung padanya. Dan itu juga karena Juna yang terlalu protektif. Ia tak suka jika ada yang mengganggu sahabatnya dan akan melakukan apapun untuk melindungi gadis itu.
Tapi Lily yang ditemuinya kembali beberapa waktu lalu bukan lagi Lily yang dulu. Bahkan hanya dari ekspresinya saja Juna bisa tau kalau Lily yang sekarang jauh lebih mandiri dan mampu mengatasi masalahnya sendiri.
"Sayang," panggil Juna akhirnya. "Resign aja gimana?"
YOU ARE READING
The Second Chance
RomanceMeski lebih dari sepuluh tahun berlalu, laki-laki itu masih tersenyum dengan cara yang sama, dan ia juga masih memperlakukan Lily dengan cara yang sama. Jika dulu Lily menyimpan perasaan untuk Juna, apakah saat ini hati Lily masih miliknya? - Eliana...