Anak-anak langsung berlarian sesampainya di villa. Maklum saja, di London dulu mereka tinggal di condominium di pusat kota. Mereka juga tak pernah berlibur ke daerah pedesaan karena Kylie tidak menyukainya. Jadi anak-anak langsung jatuh cinta melihat banyaknya pepohonan, rerumputan dan udara yang masih segar, bebas dari polusi.
Angga otomatis mengikuti keponakannya, namun Juna dan Adit bersama Pak Mamat membantu para orang tua membawakan barang ke dalam villa.
Villa ini masih sama seperti dulu. Meski ditinggalkan bertahun-tahun, villa ini tetap bersih dan rapi. Juna memang menyuruh sepasang suami istri paruh baya untuk tinggal dan merawat villa ini.
Biasanya villa ini disewakan untuk umum, tapi tidak kali ini karena Juna mau menggunakannya.
"Bik Sum," Mama menegur wanita paruh baya yang keluar dari villa.
"Ibu, apa kabar?" tanya bik Sum dengan logat Jawa yang kental, meski hampir separuh hidupnya tinggal di Jakarta.
"Baik Bik," jawab Mama. "Kamar-kamar sudah disiapin kan?"
"Sudah bu, sesuai permintaan Den Juna kemarin,"
"Makasih ya Bik, udah buru-buru disiapin. Padahal kan Juna mintanya udah malem," ujar Juna sambil menurunkan barang-barang.
"Masya Allah, Den Juna yo? Tambah ganteng aja, pangling Bibik," Bik Sum berujar heboh. Anak yang dulu dalam asuhannya sampai menginjak dewasa, saat ini sudah bukan lagi remaja berseragam abu-abu. Rasanya baru kemarin ia menyiapkan baju seragam anak majikannya itu.
"Bibik bisa aja," Juna tertawa lebar.
"Ini istrinya ya, Den? Waaah... cantik yo..." Bik Sum mengagumi Lily.
Namun entahlah, apa ini karena dirinya yang sudah berumur, Bik Sum merasa pernah melihat wanita berjilbab itu. Lagipula bukankah istri anak majikannya itu bukan orang Indonesia. Sementara wajah ayu di hadapannya ini jelas bukan bule.
"Bik Sum lupa sama saya?" tanya Lily. Sementara Bik Sum hanya menelengkan kepala, berusaha mengingat siapa wanita yang saat ini tersenyum padanya itu.
"Saya Lily Bik, temen Juna waktu SMU,"
"Owalaaah... Mbak Lily to? Pangling Bibik. Cantik sekali sekarang," Bik Sum langsung heboh, tangannya reflek memukul-mukul pelan lengan Lily.
Namun beberapa detik kemudian langsung berhenti, menyadari wanita itu bukan anak SMU yang dulu suka menjahilinya dan selalu menganggapnya lebih dari sekedar pengasuh Juna sejak kecil. Dulu bahkan Lily meminta agar jangan memperlakukannya dengan terlalu kaku. Anak itu senang sekali merangkulnya dari belakang, dan Bik Sum juga lama-kelamaan menganggapnya teman. Ia akan menabok Lily kalau candaannya sedikit keterlaluan. Berbeda dengan teman-teman perempuan Juna yang lain yang menganggap diri mereka lebih tinggi.
Tapi sekarang entah kenapa Bik Sum sedikit sungkan. Mungkin karena Lily bukan anak-anak lagi.
"Kenapa, Bik?" Lily mengernyit melihat Bik Sum menarik tangannya dan berdiri agak mundur.
"Nggak papa Mbak, Bik Sumi cuma nggak enak. Kan Mbak Lily sudah jadi nyonya Bibik,"
"Maksudnya?"
"Mbak sudah jadi istrinya Den Juna kan?"
Lily memerah dan menjatuhkan tasnya. Namun Juna langsung memungut tas itu sambil tertawa seraya berkata, "Aamiin... doain aja ya Bik,"
"Kok 'amin' Den?"
"Kan emang belum jadi istri saya Bik, masih calon, Lilynya belum mau,"
Lagi-lagi Lily hanya memutar bola matanya jengah dan meninggalkan orang-orang itu.
***
Juna memandangi Lily yang berjalan menjauh ke arah pintu masuk villa. Juna tahu, gurauannya sejak tadi membuat Lily merasa didesak untuk segera memberinya jawaban. Dan memang itulah tujuannya. Ia berharap orang-oang yang dekat dengan Lily akan membantunya meyakinkan perempuan itu bahwa Juna adalah yang terbaik untuknya.
Jujur saja, Juna tak mau terima jawaban 'tidak'. Ia memang sangat ingin Lily yang jadi istri dan ibu dari anak-anaknya. Ia tak ingin melepaskan perempuan itu untuk yang kedua kalinya.
"Kamu marah?"
Lily menoleh mendengar suara yang mulai mengisi harinya lagi. Matanya yang tadi menatap kolam renang di hadapannya, kini beralih menghadap Juna yang sudah berdiri di belakangnya.
Memang ada sedikit rasa jengkel kala Juna menggodanya seperti tadi. Lily butuh waktu untuk memikirkan lamaran Juna, namun sepertinya laki-laki itu terus mendesaknya.
Bukan Lily tidak mencintainya lagi. Justru karena Lily sadar masih mencintainya makanya Lily perlu waktu untuk memikirkannya. Ia tak ingin terluka lagi. Biar bagaimanapun, Lily bukan tipe perempuan yang disukai Juna. Sejak dulu sampai sekarang, bahkan mantan istrinya juga seorang model. Ia tak mau perkawinannya nanti kandas di tengah jalan karena Juna yang merasa tak puas dengan dirinya.
"Kok nggak dijawab?" tegur Juna ketika Lily hanya terdiam.
"Aku nggak marah, Jun," jawab Lily singkat.
"Kalau nggak marah kenapa nggak mau lihat aku?" tanya Juna saat mata Lily kembali menatap kolam renang di belakang villa.
"Apa kita mau ribut lagi seperti waktu SMU? Kamu kayaknya harus dipaksa buat ngomong apa yang kamu rasain..." godanya.
"Aku cuma perlu waktu buat mikir, tapi kamu seolah terus maksa aku buat cepet-cepet jawab. Padahal baru tadi pagi kamu bilang mau kasih aku waktu," jawab Lily tanpa memandangnya.
Juna terdiam. Memang tadi pagi Juna berjanji memberinya waktu. Tapi ya Alloh, Juna sungguh menginginkan Lily sebagai pasangannya yang sah. Juna sangat ingin menyentuh dan memeluknya. Sejak mengetahui sifat asli mantan istrinya dan kelakuannya yang menelantarkan anak-anak, Juna sungguh menyesali keputusannya meninggalkan Lily. Sekarang Juna ragu bisa menahan keinginannya untuk bisa bersama Lily.
"Aku minta maaf," Juna mengusap tengkuknya lelah. "Tapi sungguh, aku nyesel dulu nolak kamu. Dan perlu kamu tahu, dulu juga bukannya aku nggak sayang kamu. Justru karena kamu terlalu berharga makanya aku nggak mau kamu berakhir sama seperti mantan aku yang lain, putus setelah satu bulan,"
Lily tercengang mendengar alasan Juna menolaknya dulu.
"Dulu kupikir dengan nolak kamu, aku bisa mempertahankan persahabatan kita. Tapi ternyata itu malah bikin aku kehilangan kamu. Bahkan kesempatan untuk menyesal dan memperbaiki kesalahan aja aku nggak punya karena papa minta aku pindah ke London,"
"Sekarang aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan lagi. Aku sayang sama kamu, dan aku mau kamu jadi istriku,"
Lily masih berusaha menyerap kenyataan tentang alasan Juna menolaknya dulu. Tapi Juna juga tak mengatakan apapun tentang perasaannya. Hanya bahwa dulu Juna tak ingin kehilangan sahabatnya dan Juna menyayanginya, bukan mencintainya.
Entahlah. Lily masih belum bisa memutuskan secepat ini.
"Kasih aku waktu, ok," jawab Lily akhirnya.
Juna hanya bisa menghela nafas dan menahan mulutnya agar tidak memaksa lagi. Lebih baik begini daripada Lily kabur karena Juna terlalu memaksa.
"Mommy...!!!" teriak sebuah suara.
Tiba-tiba saja dari belakang mereka terdengar pekikan ramai anak-anak berlarian di dalam rumah. Mendengar panggilan itu Lily dan Juna akhirnya masuk kembali ke rumah. Tak lupa Juna mengunci pintu menuju kolam renang, takut putri bungsunya lari keluar dan tercebur ke dalam kolam yang cukup dalam itu.
YOU ARE READING
The Second Chance
RomanceMeski lebih dari sepuluh tahun berlalu, laki-laki itu masih tersenyum dengan cara yang sama, dan ia juga masih memperlakukan Lily dengan cara yang sama. Jika dulu Lily menyimpan perasaan untuk Juna, apakah saat ini hati Lily masih miliknya? - Eliana...