"Mommy...!!!" sebuah pekikan melengking menyambut mereka dari dalam villa besar di puncak.
Lily tersenyum dan merentangkan tangannya menyambut gadis kecil dengan rambut coklat bergelombang yang berlari langsung ke pelukannya. Sang Daddy bahkan sudah tak diingatnya lagi.
Tapi Juna tak keberatan. Ia justru berjalan langsung masuk ke dapur sambil tersenyum sendirian seperti orang gila. Ia juga tidak memperhatikan Adit dan Angga yang sedang bermain PS di ruang keluarga.
"Daddy?" gumam Zayn pelan melihat sang Daddy melewatinya begitu saja yang sedang membaca buku di tengah kedua Oomnya.
"Seems like you're gonna have a Mommy now..." Adit mengelus kepala keponakannya dengan sayang tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi.
Zayn terdiam, sejenak meresapi maksud Oom Aditnya. Otaknya menghubungkan kalimat itu dengan teriakan adiknya barusan. Sedetik kemudian anak laki-laki itu bangkit dari duduknya. Tapi ia tidak berlari menuju arah yang sama dengan Daddynya, melainkan menuju ruang depan di mana adiknya sedang memeluk seorang wanita dengan gembira.
Lily mendongak menyadari ada yang berdiri di memperhatikan dan langsung menghentikan aktivitasnya yang sedang menggelitiki pinggang gadis kecil di pangkuannya.
"Hey, Zayn!" panggilnya. "Sini, Sayang," Lily merentangkan satu tangannya yang tidak memeluk Mikaila.
Zayn mendekat tanpa malu lagi. "Are you really gonna be our Mommy?" tanyanya pelan.
"Do you want me to be?" Lily membalikkan pertanyaannya. Bagaimanapun, perasaan anak-anak ini tetap yang utama yang harus dipertimbangkan.
Zayn mengangguk-angguk bersemangat. Dan Mikaila tak perlu ditanya lagi. Gadis cilik itu sudah menyerang wajahnya dengan ciuman-ciuman kecil tanda bahagianya.
"Jadi kapan acaranya?" tanya seseorang di sofa seberangnya.
Lily mendongak mendapati Adit menduduki lengan sofa sambil nyengir lebar. Entah sejak kapan laki-laki itu ada di situ, ia bahkan tak menyadarinya.
"Selamat ya, Mbak, Adit tau berapa lama Mbak ngarepin saat ini," goda Adit.
"Maksud kamu?" Lily mengernyit bingung.
"Mungkin dulu Adit masih kecil. Tapi bukan berarti Adit nggak ngerti," Adit menaik-naikkan alisnya. "Maaf ya, kakak Adit emang orangnya nggak pekaan banget. Sabar-sabar aja kalau nanti udah sah jadi istrinya,"
Wajah Lily bersemu menyadari Adit mengetahui perasaannya sejak dulu. Padahal saat itu Adit masih duduk di bangku SD. Lily hampir membuka mulutnya untuk membela diri saat laki-laki yang sedang mereka bicarakan muncul dari belakang Adit dan memukul belakang kepala adiknya menggunakan bantal sofa.
"Jangan sembarangan kamu," Juna memarahi adiknya sementara Adit hanya nyengir tanpa merasa bersalah setelah kepalanya nyaris membentur meja di depannya. Untung saja refleksnya bagus sehingga hanya tubuhnya yang terhuyung ke depan.
Juna tersenyum memandangi wajah Lily yang bersemu, dengan Mikaila di pangkuannya dan Zayn yang duduk di sampingnya sambil menatap wajah Lily kagum. Kelihatan sekali anak laki-lakinya itu juga bahagia. Senyum malaikat-malaikatnya adalah yang paling berharga dalam hidupnya saat ini.
Juna masih ingat kejadian tadi saat makan siang. Ia sempat kecewa mendengar Lily tak mengakuinya sebagai kekasih. Juna pikir kesempatannya sudah hilang bertahun-tahun yang lalu saat Juna menolaknya. Tapi ternyata masih ada kesempatan kedua untuknya.
Dan ekspresi dua orang yang sebelumnya membuatnya jengkel saat itu benar-benar berharga. Nisa menyemburkan minumannya dan Ardo tersedak nasi yang sedang dikunyahnya. Alhasil Ardo yang sedang terbatuk hebat juga basah di bagian depan tubuhnya karena mereka duduk berhadapan.
Jangan kira Juna tak tahu bahwa Nisa punya perasaan untuknya. Bahkan sejak pertama kali Bagas memperkenalkan mereka, Juna tahu Nisa memperhatikannya dengan intens. Dan saat Nisa memanggil Ardo untuk duduk bersama mereka tadi, Juna juga tahu rencana gadis itu. Tapi ternyata rencana apapun yang ada di kepala gadis itu malah buyar karena Lily justru mengakui Juna sebagai calon suaminya. Yang artinya Lily menerima lamarannya.
"Mama kenapa?" sebuah suara tiba-tiba membuyarkan lamunan Juna.
Sesaat Juna tak mengerti maksud pertanyaan calon istrinya itu sampai dilihatnya mamanya mengusap pipinya dengan telapak tangan. Lily yang kebingungan menurunkan Mikaila dari pangkuannya dan berdiri mendekati mama Juna.
Mama Juna langsung memeluk Lily erat saat gadis itu sudah berdiri di hadapannya. Erat sekali, Juna memperhatikan. Saat ini mamanya pasti bahagia sekali sampai menangis. Padahal di dapur tadi mama Juna hanya tersenyum bahagia dan memeluknya sebentar.
"Mama kenapa?" ulang Lily karena mama Juna tak kunjung menjawab. Isaknya justru makin keras seiring mengencangnya pelukan di lehernya.
"Mama bahagia, Sayang," jawabnya seraya mengelus lembut rambut Lily. "Makasih sudah mau jadi istri Juna dan mommynya cucu mama,"
Lily hanya bisa tersenyum dibali punggung mama Juna. "Lily juga seneng, Ma, bisa jadi anak Mama, jadi mommynya Zayn dan Mika,"
"Cuma jadi anak Mama sama Mommynya anak-anak senengnya?" Juna pura-pura cemberut.
"Gayamu, Kak, sok manyun. Padahal dari mukanya aja udah ketahuan apa yang paling bikin dia seneng," Adit menyeletuk.
"Tau tuh Kakak," Angga yang biasanya diam ikut-ikutan. "By the way, Selamat ya, Mbak," Angga mengucapkan selamat pada Lily yang sudah melepaskan pelukan mamanya.
"Makasih Angga, Adit juga,"
"Jadi kapan acaranya? Bulan depan?" Adit mengulangi pertanyaannya.
"Insha Allah Mama bisa siapin kalau bulan depan," mama Juna menyanggupi.
"Lusa, Ma," celetuk Juna.
"Hah?!!" "What?!!" "Lusa?!!"
Dua orang dewasa dan satu anak SMP di ruangan itu memekik bebarengan.
"Kakak ngelindur ya?"
"Mama nggak mungkin bisa siapin kalau lusa, Juna,"
"Apanya yang disiapin sih, Ma? Kan tinggal cari penghulu sama dua orang saksi," jawab Juna enteng.
Adit dan mamanya ternganga shock dengan jawaban Juna.
"Aku udah ngobrol sama Lily tadi. Akad nikah lusa karena tunggu KUA buka hari kerja. Soal pestanya, kita pikirin nanti karena harus cari hari libur kita berdua dulu,"
"Jangan sembarangan, Juna. Kita kan harus ngobrol dulu sama orang tua Lily. Kemana sopan santun kamu?" omel mama Juna.
"Tadi sebelum ke sini juga udah mampir ke rumah kok, Ma. Bapak malah setuju banget sama rencana aku. Katanya lebih cepat lebih baik untuk menghindari fitnah,"
"Kamu nggak apa-apa kalau begini, Sayang?" mama Juna beralih bertanya pada Lily. Perempuan biasanya lebih sensitif tentang pesta pernikahan.
"Nggak apa-apa, Ma, Lily nggak keberatan,"
"Ya sudah kalau begitu," mama Juna akhirnya mengalah meski sambil memijit kepalanya yang sedang bahagia dan pusing secara bersamaan.
"Ngebet banget, Kak," Adit masih melontarkan ledekannya seraya menyikut perut kakaknya. Sementara Juna membalasnya dengan dorongan lain di belakang kepala adiknya.
"Aku mau nganter Lily pulang ke Bogor dulu, Ma, udah malem," ujar Juna.
"Lho, Lily bukan mau nginep?"
"Nggak, Ma, Lily ke sini cuma karena tadi pagi janji sama Mika," jawab Lily.
"Lho kenapa? Udah malem lho ini,"
"Nggak apa-apa, Ma. Kita belum jadi keluarga, nanti jadi fitnah kalau Lily tidur di sini," jelasnya. "Lily pamit ya, Ma, assalamu'alaikum,"
Tapi tanpa diduga, Mika yang sudah senang sejak tadi menangis kencang karena Lily tidak mau menginap. Alhasil bukan hanya Juna yang mengantar Lily pulang, melainkan seluruh keluarga ikut, dengan harapan Mika akan tertidur di pelukan Lily di jalan nanti.
YOU ARE READING
The Second Chance
RomansaMeski lebih dari sepuluh tahun berlalu, laki-laki itu masih tersenyum dengan cara yang sama, dan ia juga masih memperlakukan Lily dengan cara yang sama. Jika dulu Lily menyimpan perasaan untuk Juna, apakah saat ini hati Lily masih miliknya? - Eliana...