Ternyata Mikaila... (2)

2K 205 0
                                    

"That one is Zayn, my boy. And this is my baby girl, Mikaila," terang Juna tanpa menyadari Lily sudah membeku di tempatnya.

Zayn sangat mirip dengan Juna, pikir Lily ketika hatinya mulai tenang, dari warna rambut, wajah, bahkan tatapan dinginnya. Hanya matanya yang berwarna hazel yang berbeda dengan ayahnya.

Sebaliknya, Mikaila bermata gelap dan tajam seperti milik ayahnya, namun keseluruhan tubuhnya nyaris tak menyamai keluarga Dewanto. Rambutnya berwarna pirang madu dan matanya yg tajam menatap Lily dengan sendu.

Namun ketika Lily mendekatinya dengan senyum ramah, gadis kecil itu ikut tersenyum malu. Saat itu Lily sadar, meski nyaris tak memiliki kemiripan, senyum di wajah itu adalah senyum ayahnya.

"Hi, baby girl," sapa Lily gemas. Reflek tangannya terulur mencoba menggendong gadis kecil itu. Dan tanpa disangka-sangka, bahkan oleh anggota keluarga yang lain mengingat gadis kecil itu sangat pemalu terhadap orang yang baru ditemuinya, Mikaila meraih uluran tangan Lily dan sama sekali tak menolak berpindah dari tangan ayahnya.

Juna menatap pemandangan di hadapannya dengan hati miris. Seandainya Lily yang jadi ibu dari Zayn dan Mikaila, anak-anaknya takkan pernah merasakan sakit yg harus mereka tanggung terlalu dini.

Matanya menghangat melihat Mikaila begitu mudahnya akrab dengan Lily. Padahal sebelumnya gadis kecilnya itu selalu menolak berinteraksi dengan perempuan manapun, terutama anak-anak teman arisan mama yang selalu disodorkan ke depan hidungnya oleh ibu-ibu mereka.

Bahkan Zayn, Juna memperhatikan, seperti dirinya sedang menatap interaksi antara adik kecilnya dengan teman ayahnya. Kalau biasanya Mikaila menangis jika dipaksa berinteraksi lalu Zayn dan Angga kompak menyembunyikannya di belakang punggung mereka, kali ini Zayn hanya diam memperhatikan. Matanya tak lagi dingin seperti saat melihat Lily tadi.
 
Dan Angga, anak itu masih saja mengernyit memperhatikan perempuan yang katanya teman kakak sulungnya itu. Otaknya berusaha keras mengingat siapa perempuan yang dipanggil Lily itu. Kenapa sepertinya perempuan itu dekat sekali dengan keluarga mereka, padahal sepanjang pengetahuannya baru kali ini Angga melihatnya.

Angga juga takjub melihat betapa mudahnya Mikaila dekat dengan Lily. Bahkan Zayn, Angga hampir yakin pandangan matanya sekarang menyiratkan keinginan untuk bisa berinteraksi dengan cara yang sama seperti adiknya. Mungkin satu dua pelukan atau usapan lembut di kepalanya, mengingat bocah berusia tujuh tahun itu diabaikan oleh ibunya sendiri hampir seumur hidupnya. Namun sepertinya gengsinya lebih besar untuk mendekat ke arah mereka. Benar-benar mirip dengan ayahnya.

"Jangan diinget lagi, nanti kamu sakit kepala," Juna meraih kepala adiknya dan mengacak rambutnya seperti yang dilakukan Adit tadi.

"Emang mbak Lily itu sedeket itu ya Kak, sama keluarga kita? Tapi kenapa aku nggak inget sih?" Angga masih penasaran. Berbeda dengan reaksinya yang selalu sewot jika Adit yang mengacak rambutnya, Angga hanya diam saat Juna yang melakukannya.

"Udah dibilangin jangan diinget lagi, kamu masih kecil banget waktu terakhir kali ketemu Lily,"

"Tapi aku penasaran, Kak," bantah Angga. "Dan itu liat deh, Mika gampang banget deket sama mbak Lily. Zayn juga mupeng gitu tapi gengsi,"

"Kenapa? Kamu cemburu mereka bisa deket sama orang lain selain kamu? Takut predikat 'oom terbaik' kamu direbut sama Lily? Tenang aja, Lily bukan oom-oom kok..." Juna tertawa dengan gurauannya sendiri.

"Ish, apa sih Kak?" Angga sewot. "Bukan gitu. Aku cuma penasaran kenapa mbak Lily bisa segampang itu deketin Mika,"

"Kalo penasaran, kamu coba deh ke sana, duduk di sampingnya dan coba kamu rasain gimana kalo deket dia,"

"Kok gitu?"

"Ya biar kamu bisa dapet feelnya, jadi bisa jawab sendiri pertanyaan kamu. Kalo kakak bilang dulu kamu yang lagi nangis digendong Kak Adit bisa langsung diem dan cekikikan waktu digendong Lily, belum tentu kamu percaya kan?"

Angga hanya mendengus tak percaya dan mengalihkan kembali tatapannya ke arah Lily dan keponakan kesayangannya. Sedangkan Zayn, yang tadinya duduk di sampingnya entah sejak kapan berdiri dekat sekali dengan adiknya.

"Aunty..." Mikaila menarik-narik lengan blus Lily yang duduk di sebelahnya.

Sekarang mereka sudah duduk di meja makan rumah besar itu. Berbagai hidangan lezat telah tersaji di meja. Sampai sekarang memang mama Juna masih pandai memasak.

Awalnya mama Juna menyediakan tempat duduk untuk Lily di samping kirinya, menyingkirkan Adit yang biasa duduk di situ. Kangen katanya. Tapi Lily tetap tak bisa duduk di situ karena Mikaila memaksa Lily duduk di sampingnya. Akhirnya Lily duduk di samping Mikaila yang berada di kanan ujung meja yang lain, dengan Juna yang duduk di kepala meja.

Masih ada satu bangku kosong di samping kiri Juna, Lily memperhatikan, mungkin untuk istrinya. Mommynya anak-anak yang belum Lily lihat sejak datang tadi. Namun tiba-tiba justru Zayn yang duduk di situ.

"Aunty..." panggil Mikaila sekali lagi, membuyarkan lamunan Lily.

"Yes, Sweety?"

"Are you gonna be my Mommy?"

Serentak hampir semua orang di meja makan tersedak. Kecuali Juna tentu. Ia hanya tersenyum kecil merasakan rencananya hampir berhasil.

"Mika!!" seru Zayn tak percaya.

Dari awal Juna tahu, putri kecilnya takkan mampu menolak pesona seorang Lily. Sebut saja Juna memanfaatkan Mikaila. Tapi saat ini hanya Mikaila sekutunya yang paling bisa diandalkan untuk mendapatkan hati Lily. Zayn tak mungkin bisa seluwes ini meminta Lily jadi ibunya mengingat anak itu sudah terlanjur dewasa sebelum waktunya akibat kelakuan ibu kandungnya sendiri.

"Mika, what are you saying?" Zayn memekik kesal.

Bukan ia tak menyukai ide Tante Lily jadi mommynya. Tapi mengucapkannya di pertemuan pertama adalah tindakan bodoh. Bagaimana kalau Tante Lily malah ketakutan dan kabur?

Lily sendiri masih terbatuk-batuk heboh karena kuah pedas yang salah masuk ke tenggorokannya akibat pertanyaan absurd gadis kecil berusia empat tahun itu.

"Ini, minum dulu," tiba-tiba Juna sudah bangkit dari kursinya dan menyorongkan gelas berisi air putih.

"Kamu nggak papa?" tanyanya sambil mengusap kepala Lily yang terbungkus hijab. Semakin kaget dengan sentuhan itu, Lily berusaha menghindar dan menepis tangan Juna. Juna memang tidak secara langsung menyentuh kepalanya, tapi sentuhan itu membangkitkan kenangan yang tak ingin ia ingat lagi.

"Are you okay?" tanya Mikaila yang kebingungan karena tiba-tiba saja semua orang di meja makan terbatuk-batuk.

"I'm fine, Sweety," jawab Lily setelah batuknya reda meski wajahnya masih merah. Tangannya menyentuh kepala anak itu untuk menenangkannya

"Now, finish your meal," ujarnya lembut, tak mau memberi jawaban apapun atas pertanyaan absurd tadi.

"Yes, Mommy!!" jawab Mikaila girang, menganggap diamnya Lily sebagai kesanggupan untuk jadi ibunya.

Lily hanya menatap Juna putus asa dan minta penjelasan. Apalagi sampai saat ini sosok yang Lily cari sejak tadi tidak ada.

"Nanti aku cerita," jawab Juna singkat.

The Second ChanceWhere stories live. Discover now