[ Edisi revisi 01 Feb '18 ]—[ Revisi kedua 10 Ags '21 ]
Intinya, judulnya tu tentang siksaan.
ʜᴇ'ꜱ ᴍʏ ʜᴜꜱʙᴀɴᴅ
Air mata itu seakan tak mau berhenti. Namun, hanya air mata yang mampu menyiratkan kesedihannya. Hanya air mata yang mampu menggambarkan betapa hancur hatinya, kepercayaannya, cintanya. Tanpa isakan, tanpa raut kesedihan, hanya air mata yang mengalir. Kini dia sudah benar-benar lelah dengan kehidupannya, tangisannya.
Ayra. Gadis yang nampak tegar dari luar, namun sebenarnya ia sangatlah rapuh, bahkan lebih rapuh dari wanita pada umumnya. Karena sebuah pengkhianatan, pertahanan yang telah dibangunnya selama bertahun-tahun, runtuh tanpa bersisa. Namun, dengan sekuat tenaga, dia akan menahan semuanya, memaksakan tubuhnya agar tetap kuat.
Tiba-tiba perutnya terasa sakit, seakan meremas organ dalamnya. Dia hanya meringis pelan menahan nyeri luar biasa pada perutnya. Ayra pun turun di pemberhentian bus dekat komplek mansion keluarga Walter. Namun, detik demi detik berikutnya, perutnya seakan semakin meremasnya. Sakit dan semakin sakit. Dengan sekuat tenaga, dia mencoba menahannya.
"Sebentar ya, Sayang. Sebentar lagi kita sampai," gumamnya pada sang buah hati yang masih berada di dalam perutnya. Bahkan, masih dalam bentuk gumpalan. Keringat mengalir di pelipisnya, menandakan sesakit apa nyeri yang dirasakannya.
"Ayra?" panggil seseorang dari arah belakang.
Gadis itu pun menoleh, dan dia mendapati seorang gadis lain yang sangat cantik seumuran suaminya. Ayra menatapnya heran, karena dia merasa tidak mengenal gadis itu.
"Ah, aku Helen. Teman sekelasnya Allard. Kau pacarnya, kan?" Gadis bernama Helen itu memperkenalkan diri sambil tersenyum ramah.
"Ah, i-iya," jawab Ayra bingung. Tidak mungkin kalau dia mengatakan kalau dia istri dari seorang Allard, kan? Bagaimana kalau gadis ini salah satu dari penggemar suaminya itu?
"Kau kenapa?" tanya Helen khawatir saat melihat gadis di hadapannya terus memegangi perut. Di bawah lampu jalan, keringat juga nampak mengalir di pelipis gadis itu.
"Ah, aku tidak apa-apa," jawab Ayra sekenanya mencoba menghentikan percakapan agar dia bisa segera pulang.
"Tidak-tidak, kau bohong. Aku tahu kau sedang kesakitan. Kau tidak perlu bohong padaku, Ayra," ujar Helen keukeuh. Raut wajahnya nampak begitu khawatir.
Ayra berpikir sejenak. Jujur, dia tidak bisa percaya pada siapapun sekarang, dan dia bukanlah orang yang terbuka dengan orang yang baru dia kenal. "Ah, ya. Sebenarnya perutku sakit. Tapi, tempat tinggalku sudah dekat, jadi tidak apa-apa. Aku bisa menahannya sebentar," ujarnya.
"Lebih baik kau ke rumah sakit. Tidak baik dibiarkan seperti ini. Kalau terjadi apa-apa, dokter bisa langsung menangani," ujar Helen bertambah khawatir.
Gadis dengan rambut blonde kotor itu nampak berpikir sejenak, ucapan Helen ada benarnya juga. Dia tidak bisa terus-terusan egois, nyawa buah hatinya bisa dalam bahaya.
"Baiklah, nanti aku akan ke rumah sakit," ujar Ayra pelan, karena rasa sakit di perutnya mulai semakin sakit.
"Biar kuantar. Lebih cepat lebih baik," tawar Helen.
"Ah, tidak perlu. Aku bisa berangkat sendiri." Namun, Ayra menolak. Ingat, dia tidak bisa mempercayai sosok Helen begitu saja, kan?
Helen terdengar mengela napas pelan, kemudian menatap kekasih teman sekolahnya dengan raut khawatir. "Ayra, tidak mungkin aku membiarkanmu pergi sendiri dalam keadaan seperti ini."

KAMU SEDANG MEMBACA
He's My Husband [ REPUBLISH ]
Jugendliteratur[ REPUBLISH ] Beberapa bagian akan berubah, sesuai rencana. Semoga gak jauh-jauh dari ekspektasi kalian, ya... . . Hidup memang keras. Tapi, sekeras apapun itu, tetap saja kita harus menjalaninya. Seperti kehidupan seorang Zayra Zeyna. Mungkin, kehi...