1:: Tak Diduga

22.9K 1.7K 244
                                    

SORRY IF THERE ANY TYPO(S)

"Kamu udah mendingan kan? Masuk sekolah aja. Gaada acara ijin-ijin lagi kayak kemaren. Ini hari pertama kamu make seragam putih abu-abu dan Mama gamau kamu sampe kamu kebanyakan ijin. Tiga hari MOS kemarin aja kamu udah ijin gara-gara kamu sakit." Rayssa menegur anak perempuan satu-satunya yang duduk di meja makan. Sebenarnya, gadis itu masih lemas karena demamnya baru turun semalam.

"Iya, Ma," balas Vanya yang memperhatikan Rayssa sibuk mengambil satu kotak donat dari dalam kulkas.

"Mama buru-buru. Mama nggak bisa buatin kamu sarapan, jadi kamu sama abang makan donat yang semalem Mama beli aja," tukasnya yang menyodorkan kotak donat di hadapan kedua anaknya itu. Leon—Kakak Vanya yang duduk di bangku kelas 12 itu melirik Rayssa sinis.

Vanya hanya bisa menghela napas pelan lalu mengangguk. "Tapi Mama jadi nganter Vanya kan?"

"Kamu nggak denger tadi Mama bilang? Mama buru-buru."

Vanya pun refleks menunduk dan senyumnya memudar dari wajah cantiknya. "Terus, Vanya naik apa?"

"Jangan manja. Kamu bisa naik angkot."

"Tapi, Vanya masih lemes, Ma," keluh Vanya dengan bibirnya yang agak pucat.

Rayssa memukul meja makan yang membuat Vanya terkejut begitu pula dengan Leon yang duduk di depan adiknya.

Gadis itu pun menundukkan kepalanya, takut menatap Mamanya. "Mama udah bilang, Vanya jangan manja! Kamu udah gede! Papa kamu udah nggak ada jadi kamu harus lebih mandiri!"

Air mata Vanya berhasil meluncur di pipi gadis itu. Rayssa hanya melirik anaknya sekilas lalu ia mengambil dua lembar uang berwarna biru dari dompetnya di dalam tas. "Nih duit jajan sama ongkos kamu sama abang kamu."

Rayssa pun mengambilnya dengan berat dan melirik Leon yang menatap dirinya tajam. "Makasi, Ma."

"Pulang sekolah langsung ke rumah. Belajar. Jangan kelayapan." ucap Rayssa yang lalu mengecup puncak kepala Vanya sekilas.

"Buat abang, jangan bertingkah lagi di sekolah!" Rayssa menatap tajam Leon namun Leon membalasnya dengan tawa sinis.

"Urus aja urusan lo sendiri," ketus Leon. Hubungan anak laki-laki itu dengan Rayssa memang tidak dalam keadaan baik.

Lagi dan lagi, Rayssa memukul meja makan yang membuat Vanya kembali terkejut. "Ma ... udah, Ma," bisik Vanya lirih.

Rayssa menghela napas berat walau sebenarnya ia ingin meluapkan emosinya lebih dalam lagi. "Bilangin sama abang kamu, selama dia menginjakkan kaki disini, jangan berani ngelawan Mama."

Rayssa pergi meninggalkan Leon dan Vanya di meja makan. Vanya hanya bisa memandang punggung Mamanya yang menghilang dibalik pintu. Mamanya memang begitu. Semejak Papanya meninggal, Mamanya lebih sibuk dengan pekerjaannya dan hanya fokus pada pekerjaannya. Terlebih lagi, Mamanya terkadang memiliki emosi yang tak bisa dikontrol. Dan semejak itu pula, Leon menjadi jauh dari mereka. Leon berubah menjadi anak yang kasar dan nakal.

Rayssa juga menjadi sosok Ibu yang sangat membatasi pergaulan Vanya. Vanya jarang boleh keluar rumah dan gadis itu diwajibkan untuk belajar setiap malam meskipun besok tak ada ulanga. Wanita itu selalu menginginkan Vanya untuk menjadi apa yang ia inginkan.

"Vanya kangen Papa," gumamnya seraya menatap foto yang terbingkai rapi di tembok rumahnya. Foto itu terdapat Mama dan Papanya serta dirinya dan Leon.

Suara bangku ditarik kasar berhasil menyadarkan Vanya dari lamunannya. Ia melihat Kakak laki-lakinya yang sepertinya ingin berangkat dengan motor gedenya.

Untuk Djingga [SUDAH TERBIT, MASIH LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang