Chapter 22

1.2K 159 84
                                    

Peringatan!!! Baca chap ini kalo PAS UDAH BUKA PUASA atau pas lagi gak puasa ya, bagi yang menjalankan wkwkwk
Soalnya ada scene yang.. ah.. warning lah pokoknya..
Selamat menikmati~
Maaf deh baru balik ^_^

Pout pout

"Ssst, Victorique.. bangunlah, ini sudah pagi."
"Mmh, tidak! Aku benci sekolah!"

Tanpa membuka mata, gadis yang berada dalam bungkusan selimut tebal itu membalikkan tubuh memunggungi siapapun yang membangunkannya. Menggeliat pelan sambil menenggelamkan dagunya pada selimut. Selanjutnya hanya terdengar suara napas halus yang menandakan bahwa gadis itu kembali berlayar menuju mimpi -mungkin-. Sementara Shouto berkacak pinggang sambil menggeleng pelan. Ia melihat ke arah dirinya sendiri yang telah terbalut seragam -tanpa dasi dan almamater-, lalu kembali melempar pandang pada Victorique yang mendadak terlihat seperti kepompong matang.

Namun, Shouto tersenyum.

Pada saat yang sama, ia juga menyadari suatu hal. Inilah pertama kali lelaki itu melihat Victorique menikmati tidurnya, tidak tahu karena alasan apa. Padahal, biasanya Victorique adalah orang yang paling semangat jika diminta untuk terjaga. Apa ada sesuatu yang Shouto lewatkan?
"Aku masih ingin tidur. Berangkat sendiri saja, sana!" Shouto mengangkat kedua alis ketika tangan mungil gadis itu muncul dari gumpalan selimut yang membungkusnya. Mengibas beberapa kali, mengisyaratkan agar Shouto meninggalkan ruangan pribadinya. Lagipula, di luar sana masih gerimis sehingga suhu udaranya sangat sejuk. Saat yang nyaman untuk tidur, bukan?

Tidak perlu menolehkan kepala untuk melihatnya, Victorique sudah tahu bahwa Shouto tetap mematung di tempat, entah apa lagi yang akan dilakukannya. Lalu ia menurunkan tangan, kali ini menyelimuti seluruh kujur tubuh sampai wajahnya pun tidak terlihat. Ia terdiam, perlahan menggerakkan tubuhnya untuk meringkuk seperti bayi.
"Tidak biasanya kau ingin melanjutkan tidur. Mimpimu baik semalam?" Victorique merasakan bagian kasur di belakang tubuhnya bergerak kebawah, tanda bahwa seseorang baru saja duduk di sana.

"Biasa saja. Dan tidak ada sesuatu yang buruk," katanya dari balik dinding kain itu setelah beberapa saat terdiam -tampaknya menimbang jawaban-.
"Aku benar-benar tidak sedang bermasalah, jadi lebih baik kau berangkat saja tanpa aku," ujar gadis itu lagi, dengan suara yang lebih jelas dari sebelumnya. Sesaat Shouto melirik jam milik Victorique sebelum akhirnya mengembangkan senyum tipis tanpa diketahui gadis itu.

"Tidak tanpamu. Lagipula, sia-sia sepeda itu memiliki kursi kosong jika tidak ada yang kuboncengi," santai, Shouto menaikkan kedua kaki ke atas ranjang, lalu menyandar pada sandaran tempat tidur. Lelaki itu melirik Victorique, menunggu dengan sabar sampai gadis itu keluar dari selimutnya. Pasti ada saat dimana ia merasa gerah, bukan?

'Justru karena itu, aku tidak mau pergi denganmu. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa.'

Lagi-lagi Victorique terdiam, kali ini berusaha memahami keadaannya dengan seksama. Bermacam rasa dari peristiwa semalam masih tertinggal, sampai-sampai membuat hati dan kepalanya tidak dapat berhenti berputar. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan sangat perlahan. Gadis itu mengulangnya hingga beberapa kali, namun tidak ada hasil. Rupanya, ia masih ingat setiap detik yang ia kira telah begitu lama berlalu. Sebagai perempuan yang -setidaknya- masih memiliki perasaan, Victorique berpikir bahwa menghadapi Shouto secara langsung bukan merupakan hal yang benar dilakukan. Mungkin.. Mungkin ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menetralkan keadaannya barang sedikit.

Apa kau tahu bahwa cinta sebenarnya jauh lebih gila dan tidak rasional dibandingkan itu?

Memang, Shouto tidak menyatakan perasaannya secara langsung. Tetapi, bukankah kalimat seperti itu sungguh terdengar aneh untuk ukuran seorang gadis seperti Victorique yang memiliki pengalaman nol mengenai pergaulan apalagi mengenai hubungan percintaan? Hal itu sungguh merupakan hal baru lagi asing baginya. Namun, jauh di dalam inti pikirannya, ia lebih memikirkan sesuatu yang cukup sederhana. Apakah ia memilih maju dengan hanya memikirkan diri sendiri, atau mundur karena tidak ingin menyeret Shouto masuk dalam kubangan masalah yang lebih besar.

Behind Her Dark Soul ( Todoroki Shouto x OC )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang