Chapter 27

854 139 20
                                    

Ruangan berlumuran cat putih. Lantainya polos dan kelabu. Lampu menyorot terang dari sisi atas. Sebuah meja tinggi di tengah-tengahnya. Dua kursi yang berhadapan menghimpit sisi panjang meja tersebut, dengan dua orang yang duduk di atasnya. Satu merupakan wanita berumur kisaran kepala tiga yang berkulit cokelat matang, berambut pirang, dan memakai jas putih panjang. Ketika kepalanya bergerak, terpantul lah sinar lampu dengan sempurna, berkedip bagai kilatan mata pisau yang tajam. Meski begitu, mata hazelnya menatap hangat. Bibir yang terpoles lipstick merah jambu tersenyum bersahabat. Satu lagi penghuni ruangan tersebut merupakan seorang gadis remaja yang rambutnya berwarna emas pekat sampai menyaingi mentari. Kulitnya lebih pucat dari yang biasa. Matanya tanpa emosi. Menunduk tanpa senyum, merasa hampa.

Tik tok tik tok

Detik jam bergema di ruangan yang dingin, diam-diam membuat salah seorang di antara dua perempuan tersebut merasa ingin bunuh diri. Wanita yang lebih tua menangkupkan tangannya, memerhatikan lawannya lebih seksama. Ia telah menyadari kegelisahan gadis di hadapannya -berkeringat dingin juga mengelupas kulit-kulit di sekitar kuku jarinya tanpa henti. Wanita itu mengembuskan napas yang begitu halus, berusaha menyatakan bahwa ia adalah seorang sahabat yang takkan merasa terbebani oleh masalah gadis itu. Ia berucap perlahan.

"Tidak perlu terlalu keras pada diri sendiri." Ujar wanita itu lembut, seperti seorang ibu.

Victorique tidak merespon.

Maka, wanita tersebut memakai strategi lain berupa penanaman sugesti. Ia menggunakan bakatnya yang berupa siulan relaksasi, bagai angin yang membawa Victorique ke ujung ambang kesadarannya. Tubuh gadis itu berangsur tenang. Matanya berat karena mengantuk, hingga akhirnya terpejam sempurna. Wanita tersebut membisikkan macam-macam hal yang serupa nyanyian pembuai.

"Aku tahu penderitaanmu."
"Aku tahu ketakutanmu."
"Aku tahu masa lalumu."

Kemudian, ia memberikan selingan berupa senandung penuh hipnotis.

"Namun, masa lalu hanya seperti air yang mengalir."
"Lepaskan perlahan.."
"Tanpa memaksa.."

********

Shouto hanya diam memandangi bubur khas rumah sakit yang jelas-jelas ber-rasa hambar. Seorang dokter baru saja mengunjunginya beberapa saat lalu, mengatakan bahwa penyembuhannya berjalan dengan sangat baik, bahkan cenderung ajaib. Namun, sebenarnya apa arti dari semua itu?

Sudah lewat empat haru sejak ia terbangun dari tidur panjangnya selama tiga hari, yang artinya sudah seminggu sejak kejadian menggemparkan itu. Ia belum boleh menonton televisi, namun Tenya dan Izuku yang pernah mengunjunginya mengatakan bahwa All Might beserta pihak sekolah menutupi kejadian yang sebenarnya dari media massa. Bisa dikatakan, Victorique berada dalam posisi aman. Hanya saja, ada beberapa hal yang masih mengganggunya berkaitan dengan kejadian tersebut, yang salah satunya merupakan pertanyaan berulang. Mengapa ia masih hidup hingga kini?

Padahal sangat jelas. Dihari itu ia sudah mencecap rasa kematian. Ia masih mengingat rasa ketika jantungnya tertusuk, juga masih mengingat betapa derasnya darah yang tumpah di pakaiannya, kemudian mengalir membasahi tanah seperti bendungan yang baru saja bobrok. Ia masih ingat ketika seluruh dirinya diselimuti kegelapan, lalu dua sosok berpakaian putih berusaha menarik tangannya menuju cahaya. Tapi, siapa yang telah memanggilnya kembali? Sungguh, ingatannya terkunci sehingga membuatnya frustasi.

"Mungkin ini hanya efek shock," lirih, ia bicara pada dirinya sendiri. Bubur yang seharusnya telah dingin itu tetap hangat di atas panggangan tangan kirinya. Baru saja ia memakan suapan pertama dengan penuh kemuakan, sebuah ketukan sopan terdengar di pintu rawatnya. All Might dengan wujud primanya masuk setelah dipersilakan, membawa satu porsi makanan enak untuk lelaki itu. Sang simbol perdamaian langsung menatap Shouto -tepatnya ke arah bubur yang tak tersentuh-, tersenyum lebar, dan mengangkat barang yang dibawanya ke dekat wajah.
"Sudah kuduga kau bukan tipe yang baik-baik saja dengan makanan rumah sakit," katanya ramah.

Shouto tidak merespon terlalu banyak, hanya pada batas menghargai, dan All Might paham akan itu. Memang siapa orang normal yang akan tetap bernafsu makan setelah semua itu? Jadi, All Might memilih untuk menutup pintu rapat-rapat seolah ingin merahasiakan sesuatu. Oh, tentu saja pembicaraan yang akan terjadi tidak boleh sampai didengar siapapun yang tak dikehendaki. Setelah mendudukkan diri di sebuah kursi yang berada dekat dengan ranjang, All Might bertanya tanpa berusaha menekan.

"Bagaimana keadaanmu?" katanya. Shouto merasa tahu jawabannya, hanya saja tak terpikir olehnya kata-kata yang tepat untuk menjawab. Ia berpikir terlebih dahulu, sedikit lebih lambat dari biasanya.
"Secara fisik, kupikir tidak buruk," ucapnya lirih, kemudian melanjutkan acara berpikirnya karena penjelasan paling membingungkan baru ada di depan mata. All Might nampaknya sadar akan hal itu. Ia kemari tanpa niatan memaksa Shouto, jadi, diusapnya lah kepala salah satu murid kebanggaannya itu penuh kasih.

"Tidak apa-apa, kau tak harus menjawabnya," All Might sungguh terlihat seperti ayah yang baik, sedikit banyak membuat Shouto terpana -apalagi jika dibandingkan dengan Endeavor-, ah, ayah berapi itu tentunya kalah dalam segala hal oleh orang yang duduk di sampingnya saat ini. Tapi, shouto tidak memikirkannya berlarut-larut. Ia teringat bahwa All Might berada di tempat kejadian saat itu, dan ini merupakan saat yang paling tepat untuk bertanya.
"Ingatan terakhirku adalah saat Vic-Victorique menusukku. Apa yang sebenarnya terjadi?" katanya, terkesan setengah melamun.

All Might menangkupkan tangannya, tidak menyangka bahwa pembicaraan justru langsung diarahkan pada topik tersebut. Ia mengembuskan napas sebelum menjawab.
"Untuk itulah aku berkunjung," pria besar itu berdiri, mengaitkan tangan di belakang punggung dan berjalan pelan mengelilingi ruangan eksklusif itu.
"Tapi sebelum itu, izinkan aku bertanya," All Might menghentikan langkah demi menatap lurus pada mata Shouto, yang berarti ia serius.
"Bagaimana pendapatmu tentan Victorique, yang telah 'membunuhmu' pada hari itu? Terlepas dari posisiku sebagai ayahnya, bisakah kau menjawab jujur?" ujarnya.

Shouto, dengan kantung mata yang bertumpuk-tumpuk itu, menatap sang simbol perdamaian tanpa perubahan ekspresi. Jelas, ia tidak merasa kaget dengan hadirnya pertanyaan seperti itu.
"Victorique melakukan itu karena traumanya bangkit sehingga ia kehilangan kesadaran. Dan yang memulai semua itu adalah aku. Yang memaksanya adalah aku. Yang membuat masalah adalah aku. Aku tak dapat sepenuhnya dianggap sebagai korban, sementara Victorique tak dapat sepenuhnya disalahkan. Ini hanya tentang konsekuensi yang kudapat akibat melakukan sesuatu, dan aku sadar sepenuhnya akan hal itu," ujar Shouto, mengambil napas, kemudian melanjutkan.
"Entah bagaimana, aku sempat berpikir bahwa dia tengah meringkuk di sebuah tempat, tidak ingin ditemui, dan menyalahkan diri sendiri. Untuk hal yang terjadi padanya, aku ingin meminta maaf. Andai aku tidak melakukannya hari itu.. semua ini takkan terjadi."

Shouto memutus kontak matanya dengan all Might tanpa sengaja, hanya berfokus pada salah satu tangan yang bisa ia kepalkan. Diam-diam, dia merasa malu. Bahkan Izuku, Tenya, dan Katsuki, merupakan korban dari tindakannya.
"Terima kasih atas kejujuranmu," jawab All Might dengan senyum yang sedikit berbeda. Emosi pria itu negatif, nemun bukan berarti kebencian ataupun amarah. Tatapannya sendu, mengetahui bahwa sekarang adalah gilirannya untuk bicara. Shouto meliriknya yang mulai berkeliling kembali dari balik rambut yang menjulur.
"Sekarang, kurasa kau perlu mengetahui alasan mengapa kau masih hidup," ia mengawali.

"Hari itu, yang menyelamatkan nyawamu adalah Victorique sendiri." Mendengarnya, Shouto hendak membuka mulut, namun mengurungkannya. Sementara, All Might memilih berhenti ti depan jendela, menatap suasana perkotaan siang hari dari lantai yang tinggi. Matanya menerawang, begitupun pikirannya shingga penjelasannya terkesan sedikit lambat.
"Kau tahu? Setelah kau pingsan, anak itu langsung melempar jauh-jauh gelang yang baru kau pasangkan tanpa kehilangan kendali. Kau tahu? Dia berusaha sekuat tenaga menggunakan bakatnya untuk memperbaiki sel-sel jantungmu yang rusak, sambil menangis keras sampai suaranya habis. Kau tahu?" All Might berbalik menghadap Shouto yang telah mematung seperti es. Senyumnya sedikit bergetar, dan mata kanannya mengalirkan sungai kecil. Dengan perasaan campur aduk sebagai seorang ayah, All Might menambahkan.

"Ini pertama kalinya aku melihat Victorique merasa terlalu takut kehilangan seseorang."

*******

Pendek ya..?
Sorry2, chapter ini pendek karena sebenernya saya berpikir kalo pemotongannya bagus :)
Chapter depan bakal lebih panjang karena ada tiga adegan (mungkin), *tapi gatau updatenya kapan.
Diusahakan ya pokoknya..

But, yang terpenting, bagaimana pendapat kalian tentang chapter ini?

Love, Author.

Behind Her Dark Soul ( Todoroki Shouto x OC )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang