Chapter 30

785 110 5
                                    

Pukul empat pagi, Shouto terbangun karena dehidrasi ringan. Jika bukan karena terdesak, ia takkan bangkit dari ranjangnya hanya untuk berjalan setengah sadar menuju dapur. Ia membuka pintu kamarnya dan menguap bulat-bulat dengan wajah kacau. Aroma asing menyapa hidungnya, namun ia tak begitu sadar akan hal itu. Pandangannya masih terasa buram hingga ia mengambil waktu untuk mengucek matanya sambil berjalan. Entah bagaimana juga, dapur terdengar berisik pada hari yang masih terlalu dini.

"Maaf jika aku membuatmu terbangun," Shouto menoleh pada sumber suara yang belum dapat ia identifikasi dengan jelas, melongo sesaat sebelum mengucapkan satu kata sebagai jawaban. "Air," katanya, dan sebuah gelas yang penuh terisi sudah diberikan padanya tak lama kemudian. Lelaki itu menarik salah satu kursi meja makan di dekatnya asal-asalan, lalu duduk dengan cara yang tak kalah asal-asalan pula. Ia meneguk air itu cepat, dan aliran segar yang menuruni kerongkongannya cukup untuk mengaktifkan seluruh inderanya dengan benar.

'Victorique?' gumamnya dalam hati ketika menyadari keberadaan gadis itu tak jauh darinya. Pastilah dia yang memberikan air pada Shouto barusan. Lelaki itu memerhatikan punggung Victorique, tak lupa dengan tangannya yang sibuk bergerak memotong tomat. Tak jauh di sisi kanan Victorique, terdapat pemanggang yang menyala dengan beberapa roti tawar berlumuran mentega di atasnya. Ia bertanya-tanya mengenai alasan gadis itu menggunakan dapur pada waktu ini, beserta apapun yang tengah dimasaknya. Hanya saja, kata-kata itu tak bisa lolos dari bibir Shouto. Sungguh merasa dikutuk karena tidak bisa berucap apapun dalam keadaan yang sangat jarang terjadi ini, akhirnya ia memilih untuk kembali ke kamarnya. Namun, sebelum ia berbuat lebih jauh dari berdiri, suara Victorique terdengar.

"Tunggu, Shouto."

Lelaki itu berhenti.

"Di kulkas, aku menemukan beberapa bahan yang akan kadaluarsa jika tidak segera digunakan. Kuharap kau mau membantuku menghabiskannya," lanjutnya tanpa berbalik menghadap Shouto yang langsung menimbang tawaran itu. "A-aku tak begitu lap-"
Kruuuukk!!
'Sial! Pasti karena wangi masakannya' Shouto merasa terlalu malu hanya untuk melanjutkan ucapan. Jadi dia memutuskan untuk menunggu tindakan Victorique. Sayang seribu sayang ia tak melihat senyum yang merekah di bibir gadis itu, lebih ke arah menahan tawa.

"Tunggulah sebentar lagi," karena kalimat itulah Shouto akhirnya kembali duduk di kursi -meski harus menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Tak dipungkiri ia merasa canggung dan salah tingkah sampai-sampai memikirkan banyak kemungkinan maupun prediksi mengenai tingkah gadis itu selanjutnya, atau bagaimana ia akan bereaksi terhadap semua kemungkinan itu. Ini masih dini hari dan ia sudah dibuat kebingungan? Siapa lagi yang memiliki kemampuan untuk menjatuhkan Shouto sampai seperti ini jika bukan Victorique?

"Untuk yang waktu itu, maaf." Ucap Victorique tiba-tiba. Tapi tunggu dulu, ia meminta maaf untuk kejadian yang mana? "Mungkin kata-kataku sangat kasar sampai membuatmu tersinggung. Hanya saja, cara Eijiro bukanlah caraku. Jika akhirnya kita harus bicara, aku ingin itu terjadi tanpa dorongan orang lain," gadis itu mengambil jeda dengan mengangkat roti dari panggangan lalu menyusun bahan-bahan lainnya seperti tomat, keju, dan daging di atasnya, tak lupa dengan paduan saus. "Aku tak dapat menahannya saat itu. Egois," tambahnya, meletakkan sepiring makanan di hadapan Shouto, kemudian menarik kursi yang berjarak cukup jauh dari lelaki itu untuk mendudukkan dirinya sendiri dengan piring yang berisi sama dengan milik Shouto.

"Makanan ini.. apa?" tanya Shouto, sangat jauh dari gayanya yang biasa. Saat ini, entah mengapa lelaki itu terlihat lebih pemalu, cenderung kikuk, dan yang terpenting adalah ia lebih manusiawi. "Itu menu Italia yang paling kusukai, Panino," Shouto mengangguk samar tanpa mengatakan apapun sebelum menggigit bagian pertamanya. Saus-saus dan keju itu segera lumer dalam mulutnya, namun perhatiannya tidak tertuju kesana. Tadi, Victorique mengatakan bahwa ia ingin mereka bicara tanpa dorongan orang lain, dan Shouto mengakui banyaknya hal yang memang belum mereka bicarakan. Ralat, sudah seharusnya mereka membicarakan semua itu.

Behind Her Dark Soul ( Todoroki Shouto x OC )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang