Seorang anak berjalan terpincang di jalur pedestrian. Matanya yang berkilat penuh semangat memerhatikan gedung vital di kota ini. Pakaiannya terlihat mahal, membuktikan bahwa sang anak bukan berasal dari keluarga biasa. Namun, noda debu, bercak darah, serta lutut yang terluka membuat orang-orang dan pengendara yang sedang menunggu lampu hijau bercahaya memberikan tatapan heran padanya, tanpa berniat menolongnya.
Jangankan untuk memikirkan respon orang lain, rasa ngilu pasca kecelakaan yang ia alami bersama ibunya pun tidak dapat menganggu konsentrasinya untuk mengabsen setiap nama gedung yang dilaluinya. Ia hanya bocah yang umurnya belum genap 6 tahun. Kejadian mengenaskan yang dialaminya beberapa menit lalu tidaklah membuatnya trauma, atau setidaknya terdiam disamping sosok ibunya yang tewas mengenaskan. Anak ini memilih keluar dari mobil yang menunggu waktu untuk meledak dan pergi untuk menemui orang paling penting dalam hidupnya. Ia harus menyampaikan pesan ibunya pada orang itu.
Rumah Sakit Santa Mario.
Matanya yang sedari tadi menyipit kini membelalak lebar. Sinar kebahagiaan tampak jelas ketika menemukan hal ia cari. Secepatnya bocah ini memacu langkah, tanpa peduli jalan apa yang akan ia seberangi dan moda apa yang akan melintas di depannya. Yang ada dipikirannya hanya agar bisa masuk ke dalam rumah sakit itu, menemui ayahnya dan menyampaikan betapa sang ibu menyesali perceraian hingga akhir hayatnya. Ibunya bahkan tidak sempat menemui sang ayah, walau itu adalah tujuan awal mereka melakukan perjalanan hingga mengalami kecelakaan tragis tersebut.
Bocah tersebut melangkah, seolah pikirannya terbutakan oleh gaya tarikan rumah sakit tersebut.
"Hei!" panggil seseorang yang seumuran di belakangnya. Panggilan tersebut mampu membuat sang bocah berbalik dan berlari kembali ke belakang―tidak bisa sedikitpun ia tidak mengindahkan panggilan orang lain.
Tidak sampai dua detik, tubuhnya terjerembap akibat angin besar di belakang punggungnya. Seperti ada benda luar biasa besar melewatinya dalam kecepatan tinggi. Pekikan klakson besar pun masih mengambang di udara. Secepatnya ia menoleh dan melihat mobil kontainer besar sudah jauh melewatinya. Bocah ini terlalu terburu-buru menyebrang, sampai tidak melihat mobil tersebut maupun klakson yang dibunyikan dari jauh.
"Hei, kau tidak apa-apa?" tanya seorang bocah lainnya membantu anak yang masih posisi terjerembab ini untuk berdiri.
Sang anak hanya melongo dengan tatapan polosnya pada sang penolong yang sudah memanggilnya tadi. Kalau tidak, ia mungkin sudah terlindas tadi. "Tidak apa. Terima kasih sudah memanggilku tadi."
"Memanggil?" ucap bocah tersebut membeo sambil berpikir. Kepalanya yang tertutupi topi cupluk itu menoleh ke kanan kiri lalu pandangannya beralih ke arah belakang punggung bocah di hadapanya. "Sebenarnya aku memanggil dia."
Sang bocah yang sedari tadi asyik memerhatikan cara berpakaian Sang Penolong yang terbilang unik untuk musim panas ini pun kini beralih ke belakangnya−ke arah yang ditunjuk anak di depannya. Dari sana ia dapat melihat seorang bocah lain menggunakan celana pendek dan topi hitam sedang menyebrang dengan hati-hati sambil membawa dua kerucut es krim.
Bocah bertopi hitam itu langsung mendekati bocah yang tadi sempat ia lihat hampir mengalami kecelakaan. "Kau hampir tertabrak mobil. Aku melihatmu dari seberang," katanya lalu menoleh pada temannya sambil memberikan satu es krim berwarna putih. "Nih, nggak ada rasa coklat, jadi aku beli rasa vanila saja untukmu."
Daripada mengambil es krim, bocah yang menggunakan jaket dan topi cupluk ini fokus pada luka lecet di lutut anak yang hampir tertabrak tadi. Ia mengacuhkan sahabatnya lalu berjongkok di hadapan sang anak yang juga kebingungan melihat sikapnya. "Lukamu cukup besar," ucapnya pelan sambil mengambil sapu tangan dari sakunya lalu melingkarnya di lutut sebagai pembalut luka. "Harus dibalut agar tidak semakin parah."
"Lalu," bocah bertopi hitam angkat bicara. "Kau mau kemana? Beli es krim di seberang juga kah?"
Sang bocah yang baru selesai dibalut lukanya itu mengikut arah tunjuk sang penanya. Ada mobil es krim di seberang sana. Ia menggeleng lalu tersenyum. "Aku mau ke rumah sakit. Menemui ayahku."
"Ah, kebetulan. Kau juga harus mengobati lukamu," celetuk bocah bertopi cupluk dengan pandangan tidak lepas pada anak di hadapannya. Kalau diperhatikan, anak ini tidak hanya terluka di lutut, tapi juga beberapa bagian lain. Tangannya menggamit sang anak, lalu menariknya untuk melangkah bersama. "Kau nyaris tertabrak, mungkin kau belum terbiasa menyebrang. Sini, kami temani."
Ajakan itu sederhana. Ajakan yang membuat bocah pemegang es krim mau tidak mau juga mengikuti langkah sahabatnya yang hendak menolong anak seumurannya itu. Ajakan yang membuat sang anak merasakan hangat di hatinya, setelah beberapa saat lalu hilang karena melihat sang ibu meninggalkan dunia. Bocah di sampingnya yang menolongnya, yang membuatnya masih hidup dan bisa berbicara dengan sang ayah, untuk mengungkapkan semua kebenarannya. Bocah berpakaian musim dingin ini adalah pahlawan bagi hidupnya.
Ada suatu hal yang bangkit dari dirinya. Layaknya manusia yang lahir kembali, ia seperti menemukan satu tujuan lain. Pikirannya melalang buana, bahkan hingga diantar ke depan meja registrasi. Ia melepas kedua orang yang sudah mengantarnya menyebrang. Sambil menunggu perawat menyelesaikan administrasinya, tatapan sang anak tidak lepas dari cermin di belakang perawat. Dari sana, ia tidak hanya melihat dirinya, tapi juga pantulan bocah bertopi cupluk yang baru saja keluar melalui pintu utama rumah sakit.
"Aku berutang padanya."
-To be Continue-

KAMU SEDANG MEMBACA
IN Series 2: Cermin
Mystery / Thriller[COMPLETED!] Vira bergabung menjadi salah satu panitia ulang tahun sekolah SMA Bimasakti. Bersama Fery yang notabenenya anggota kepengurusan organisasi sekolah, ia pun terpaksa menjalaninya. Ditengah dilema karena harus membagi waktu antara bekerja...