Chapter 17: Pada Akhirnya

244 24 0
                                    

Helda hanyalah anak biasa. Keluarganya berkecukupan untuk membesarkannya. Bagaimanapun, keluarga itu hangat. Ia berada di tengah ayah dan ibunya. Sampai perkelahian itu terjadi. Satu kata terlarang diucapkan oleh ayah Helda. Ayah dan ibunya pun resmi bercerai. Helda tinggal bersama ibunya yang sering sakit semenjak diceraikan suaminya. Tidak kuat dengan tekanan batin sendiri, ibu Helda mengajak sang anak ke Rumah Sakit Santa Mario, untuk menjenguk sang mantan suami yang juga sedang sakit keras.

Dan hal itulah terjadi.

Helda dibawa ibunya menggunakan mobil kecil mereka. Rem yang tidak berfungsi dengan baik membuat mobil itu mengalami kecelakaan tunggal setelah menabrak trotoar jalan dan terseret beberapa puluh meter. Keadaan sang ibu lemah ketika tangannya sudah mati rasa. Kepalanya juga mengucur darah akibat benturan. Asap yang keluar dari dashboard membuat wanita muda itu sadar, mereka tidak akan selamat. Ia dengan cekatan membuka sabuk pengaman anak tunggalnya lalu membukan pintu untuknya. Menyuruhnya lari sebelum mobil meledak.

Helda kecil yang entah kenapa tidak mengalami luka berarti itu hanya memandang tenang mobil mereka dari kejauhan. Asap putih perlahan berubah memercikan api dan meledakkan kendaraan roda empat itu. Ia hanya memegang lengan atasnya dan mencoba merasakan bekas pelukan sang ibu. Ia tidak mempedulikan orang-orang yang sudah berkerumun pasca ledakan itu terjadi. Tekadnya hanya untuk menyampaikan pesan sang ibu. Apapun yang terjadi, ia harus bisa bertemu ayahnya.

Sakit jantung kronis yang dialami ayah Helda semakin parah semenjak ia berpisah dengan keluarga kecilnya. Rasa rindu yang membuncah membuat tekanan batin terus dialaminya. Namun, kedatangan putri kecilnya adalah satu hal yang tidak bisa ia sangka sebelumnya. Kemana ibunya? Kenapa ia membiarkan putri mereka datang jauh-jauh ke rumah sakit ini sendirian?

"Mobil kita meledak dan ibu masih berada di dalamnya," kata Helda kecil dengan tatapan datar. Sang ayah mengeluh frustrasi dalam hati. Tidak mungkin anaknya berbohong dilihat dari luka kecil yang ia alami. Hanya saja, bagaimana bisa ia mengucapkannya tanpa memiliki emosi seperti itu? Sejak awal, sang ayah merasa ada yang salah dengan anaknya ini. Ia sangat berobsesi melindungi hal yang ia sayangi, tapi ketika kehilangannya, tidak ada emosi penting yang bisa ia tunjukkan. Pria ini ingat ketika sang ibu sempat terjatuh karena tersandung kaki salah seorang teman Helda yang tidak sengaja mengulurkan kakinya di pasir. Saat itu pula Helda melempar batu sampai memecahkan pelipis temannya. Ia melakukannya tanpa rasa bersalah dan mengatakan: 'Ia pantas mendapatkannya karena sudah melukai ibu'.

"Ibu tidak pernah membawa pria yang sering ayah katakan―sampai kalian harus berpisah dan meninggalkanku yang hanya memiliki satu orangtua. Ibu selalu menangis setiap malam, meminta maaf karena sekalipun ia tidak pernah mengkhianati ayah."

Kenyataan ini menampar ayah Helda. Selain kabar sang istri yang mungkin sudah meninggal saat ini, fakta bahwa perceraian mereka hanya perbuatan konyol membuat jantungnya tiba-tiba seperti diremas. Sangat menyakitkan. Ia merasa sesak, tapi tetap terus tersenyum pada sang anak yang mulai mengubah ekspresinya melihat sang ayah seperti menahan sakit.

"Apakah sakit, Ayah?"

Helda jarang bertemu orang lain, karena orangtuanya juga tertutup terhadap sekitar. Ia terlalu senang hidup bersama ayah dan ibunya. Tidak jarang kedua orangtuanya merasa Helda selalu ingin melindunginya. Tapi kenapa ia tidak bisa menangis bahkan jika ibunya meninggal? Sang ayah hanya berpikir, mungkin jika ia meninggal sekarang pun, sang anak tidak akan menangis.

"Ayah, tadi aku diselamatkan anak yang tampan."

Ayah Helda tahu, putrinya yang cerdas ini ingin mengalihkan rasa sakitnya dengan bercerita padanya, seperti yang selalu ia lakukan. Sang ayah mengusap kepalanya lalu bertanya dengan mata yang menyipit. "Bagaimana bisa? Ceritakanlah."

IN Series 2: CerminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang